Selasa, 15 September 2020

Makalah Pentingnya Pendidikan Karakter

PENDAHULUAN

Pertanyaan yang selalu hadir dalam diri penulis makalah ini saat berhadapan dengan arti penting pendidikan abjad: Mengapa perlu pendidikan huruf? Apakah ”karakter” dapat dididikkan? Karakter apa yang perlu dididikkan? Bagaimana mendidikkan aspek-aspek aksara secara efektif? Bagaimana mengukur kesuksesan sebuah pendidikan aksara? Siapa yang harus melakukan pendidikan abjad? Bagaimana hubungannnya dengan bidang studi lainnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali diperkuat oleh kebijakan yang mengakibatkan pendidikan aksara selaku ”acara” pendidikan nasional di Indonesia khususnya dalam Kementerian Pendidikan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II. ”Pendidikan huruf” bukanlah hal baru dalam metode pendidikan nasional Indonesia. Namun, jagad pendidikan Indonesia kembali diramaikan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional yang mengusung pendidikan aksara lima tahun ke depan melalui Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014. Masih kental di kenangan kelompok pendidikan kita di permulaan Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika itu Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin, berusaha menghidupkan pendidikan adab dan kecerdikan pekerti – selaku amanat Garis-garis Besar Haluan Negara 1999— utamanya untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Pemeo usang di dunia pendidikan nasional Indonesia yang menyampaikan bahwa “ganti menteri, maka ganti kurikulum atau ganti kebijakan,” menyiratkan sedikitnya dua hal. Pertama, duduk perkara pendidikan akan selalu dikaitkan dengan arah politik atau kebijakan pendidikan nasional, sehingga antara pendidikan dan politik selalu berafiliasi sangat kuat. Kedua, ada penyederhanaan fikiran bahwa duduk perkara pendidikan seakan cuma sebatas masalah kurikuler atau masalah kurikulum forum pendidikan formal.


PEMBAHASAN

A. Ragam Pendidikan Karakter 

Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan huruf akseptor bimbing, tergantung terhadap faktor penekanannya. Di antaranya yang umum diketahui ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang kala digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan aksara juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000). Sebagai kajian akademik, pendidikan abjad tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi), pendekatan dan tata cara kajian. Di sejumlah negara maju, mirip Amerika Serikat terdapat pusat-sentra kajian pendidikan karakter (Character Education Partnership; International Center for Character Education). Pusat-sentra ini sudah mengembangkan model, konten, pendekatan dan instrumen penilaian pendidikan huruf. Tokoh-tokoh yang sering diketahui dalam pengembangan pendidikan karakter antara lain Howard Kirschenbaum, Thomas Lickona, dan Berkowitz. Pendidikan aksara berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat susila/adat, hukum, sastra/humaniora.

Terminologi ”huruf” itu sendiri sekurang-kurangnya menampung dua hal: values (nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang menempel dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya yakni sebuah penampakan dari nilai yang bagus pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar duduk perkara apakah ”baik” selaku sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Dari hal ini, maka kajian pendidikan abjad akan bersentuhan dengan wilayah filsafat etika atau akhlak yang bersifat universal, mirip kejujuran. Pendidikan abjad sebagai pendidikan nilai menyebabkan “upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk menolong siswa menyebarkan disposisi-disposisi guna bertindak dengan cara-cara yang pasti” (Curriculum Corporation, 2003: 33). Persoalan baik dan jelek, kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keistimewaan menjadi faktor penting dalam pendidikan huruf seperti ini.

Sebagai aspek kepribadian, aksara ialah cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, perilaku dan sikap. Pendidikan aksara seperti ini lebih sempurna sebagai pendidikan kecerdikan pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, budpekerti, dan etika-istiadat, mengakibatkan pendidikan karakter seperti ini lebih menekankan kepada sikap-perilaku positif perihal bagaimana seseorang mampu disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.

Bagaimana pendidikan abjad yang ideal? Dari klarifikasi sederhana di atas, pendidikan karakter hendaknya mencakup faktor pembentukan kepribadian yang menampung dimensi nilai-nilai kebajikan universal dan kesadaran kultural di mana norma-norma kehidupan itu tumbuh dan meningkat . Ringkasnya, pendidikan abjad bisa membuat kesadaran transendental individu mampu terejawantah dalam sikap yang konstruktif menurut konteks kehidupan di mana dia berada: Memiliki kesadaran global, namun bisa bertindak sesuai konteks lokal.


B. Perpektif Pendidikan Karakter

Pendidikan aksara selaku sebuah program kurikuler telah dipraktekan di sejumlah negara. Studi J. Mark Halstead dan Monica J. Taylor (2000) menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pengajaran nilai-nilai sebagai cara membentuk aksara terpuji telah dikembangkan di sekolah-sekolah di Inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap pembentukan abjad menurut nilai-nilai tersebut yaitu dalam dua hal yakni: to build on and supplement the values children have already begun to develop by offering further exposure to a range of values that are current in society (such as equal opportunities and respect for diversity); and to help children to reflect on, make sense of and apply their own developing values (Halstead dan Taylor, 2000: 169).

Untuk membangun dan melengkapi nilai-nilai yang sudah dimiliki anak semoga berkembang sebagaiamana nilai-nilai tersebut juga hidup dalam penduduk , serta agar anak bisa mencerminkan, peka, dan bisa menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pendidikan karakter tidak mampu berjalan sendirian. Dalam masalah di Inggris, review penelitian ihwal pengajaran nilai-nilai selama dekade 1990-an menawarkan bahwa pendidikan karakter yang diusung dengan kajian nilai-nilai dilaksanakan dengan acara lintas kurikulum. Halstead dan Taylor (2000: 170-173) mendapatkan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tersebut juga dihidangkan dalam pembelajaran Citizenship; Personal, Social and Health Education (PSHE); dan mata pelajaran lainnya mirip Sejarah, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Alam dan Geografi, Desain dan Teknologi, serta Pendidikan Jasmani dan Olahraga.

”Karakter warga negara yang baik” ialah tujuan universal yang ingin diraih dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara manapun di dunia. Meskipun terdapat ragam nomenklatur pendidikan kewarganegaraan di sejumlah negara (Kerr, 1999; Cholisin, 2004; Samsuri, 2004, 2009) menawarkan bahwa pembentukan aksara warga negara yang bagus tidak mampu dilepaskan dari kajian pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Sebagai pola, di Kanada pembentukan abjad warga negara yang baik lewat pendidikan kewarganegaraan diserahkan terhadap pemerintah negara-negara bab. Di negara bab Alberta (Kanada) kementerian pendidikannya sudah memberlakukan kebijakan pendidikan huruf bantu-membantu pendidikan aksara melalui implementasi dokumen The Heart of the Matter: Character and Citizenship Education in Alberta Schools (2005). Dalam konteks Indonesia, di kala Orde Baru pembentukan karakter warga negara nampak ditekankan kepada mata pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di masa pasca-Orde Baru, kebijakan pendidikan abjad pun ada upaya untuk ”menitipkannya” melalui Pendidikan Kewarganegaraan di samping Pendidikan Agama.


C. Instrumen Efektivitas Pendidikan Karakter

Character Education Partnership (2003) sudah menyebarkan patokan mutu Pendidikan Karakter selaku alat evaluasi diri utamanya bagi lembaga (sekolah/kampus) itu sendiri. Instrumen berbentukskala Likert (0 – 4) dengan menampung 11 prinsip sebagai berikut:
  • Effective character education promotes core ethical values as the basis of good character.
  • Effective character education defines “character” comprehensively to include thinking, feeling and behavior.
  • Effective character education uses a comprehensive, intentional, and proactive approach to character development.
  • Effective character education creates a caring school community.
  • Effective character education provides students with opportunities for watak action.
  • Effective character education includes a meaningful and challenging academic curriculum that respects all learners, develops their character, and helps them succeed.
  • Effective character education strives to develop students’ self-motivation.
  • Effective character education engages the school staff as a learning and budpekerti community that shares responsibility for character education and attempts to adhere to the same core values that guide the education of students.
  • Effective character education fosters shared sopan santun leadership and long-range support of the character education initiative.
  • Effective character education engages families and community members as partners in the character-building effort.
  • Effective character education assesses the character of the school, the school staff’s functioning as character educators, and the extent to which students manifest good character. (Character Education Partnership, 2003:5-15)

DAFTAR PUSTAKA
  • Alberta Education. (2005). The Heart of Matter: Character and Citizenship Education in Alberta School. Alberta: Alberta Education, Learning and Teaching Resources Branching, Minister of Education
  • Berkowitz, Marvin W. dan Bier, Mellinda C. (2005). What Works in Character Education: A Research-driven Guide for Educators. Washington: Character Education Partnership
  • Character Education Partnership. (2003). Character Education Quality Standards. Washington: Character Education Partnership
  • Cholisin. (2004). “Konsolidasi Demokrasi Melalui Pengembangan Karakter Kewarganegaraan,” Jurnal Civics, Vol. 1, No. 1, Juni, pp. 14-28
  • Curriculum Corporation. (2003). The Values Education Study: Final Report. Victoria: Australian Government Dept. of Education, Science and Training.
  • Halstead, J. Mark dan Taylor, Monica J. (2000). “Learning and Teaching about Values: A Review of Recent Research.” Cambridge Journal of Education. Vol. 30 No.2, pp. 169-202.
  • Kerr, D. (1999). “Citizenship Education in the Curriculum: An International Review,” The School Field. Vol. 10, No. 3-4
  • Kirschenbaum, Howard. (2000).”From Values Clarification to Character Education: A Personal Journey.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 4-20
  • Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books
  • Samsuri. (2004). “Civic Virtues dalam Pendidikan Moral dan Kewarganegaraan di Indonesia Era Orde Baru” Jurnal Civics, Vol. 1, No. 2, Desember.
  • Samsuri. (2007). “Civic Education Berbasis Pendidikan Moral di China.” Acta Civicus, Vol. 1 No. 1, Oktober.
  • Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional
  • Williams, Mary M. (2000). “Models of Character Education: Perspectives and Developmental Issues.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 32-40

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon