Selasa, 29 September 2020

Makalah Pemanfaatan Sistem Administrasi Sisa Tumbuhan

Makalah Pemanfaatan Sistem Manajemen Sisa-sisa Tanaman

Crop Residue Management System (CRM) sebagai Upaya Konservasi Tanah dan Air untuk Mencapai Pertanian Produktif yang Berkelanjutan


I. Pendahuluan

Dalam makalah ini, penulis akan membicarakan perihal hal-hal yang terkait dengan metode CRM, efektifitasnya, penyebaran penggunaannya, dan bagaimana keberlanjutan penggunaan teknologi CRM selaku salah satu teknik KTA. Penulis akan membahasnya secara berurutan dengan sumber info utama yang berasal dari 5 buah makalah yang terhimpun dalam Proceeding 8th ISCO Conference (1994) dengan tema “Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities”, Volume 2, Section X dengan judul “Resource Management and Tillage”.


PEMBAHASAN

II. Sistem Manajemen Sisa-sisa Tanaman/Crop Residue Management System (CRM) selaku Salah Satu Teknik Konservasi Tanah dan Air

Sistem CRM ialah salah satu teknik konservasi tanah dan air (KTA) yang dilaksanakan sepanjang tahun khususnya ditujukan untuk meminimalisir erosi tanah oleh angin dan air. Sistem CRM ini termasuk dalam klasifikasi KTA secara agronomi, karena dilakukan sepanjang tahun. Praktek-praktek KTA yang lain mirip contouring, terasering, grassed air, kontur strip rotasi tanaman, cropping strip angin, penghalang angin, dan lapangan windbreaks (Scherts dan Kemps, 1994). Praktek-praktek tersebut termasuk dalam aktivitas budidaya. Menurut Gajri dan Prihar (1984) budidaya yaitu proses pengelolaan tanah untuk produksi tanaman yang dipraktekkan oleh manusia, hewan, atau mesin untuk mengolah tanah dengan mengubah lingkungan fisik.

Sistem CRM dimulai dengan menanam flora penghasil, lalu setelah panen residu tanaman (residu) penghasil tersebut dibiarkan di atas permukaan tanah. Untuk itu tanah yang diatur perlu dijadwalkan dengan hati-hati untuk menghindari penguburan residu tumbuhan secara berlebihan. Persentase luas area residu tumbuhan yang menutupi permukaan perlu diputuskan, mengenang mungkin saja sebelumnya telah ada praktek-praktek konservasi lain yang dipakai untuk meminimalkan pengikisan tanah (Scherts dan Kemps, 1994).


III. Efektifitas CRM

Biasanya pada tanah yg dijalankan infiltrasinya berkembangdan limpasan berkurang, alasannya kerak di permukaan tanah pecah. Data dari percobaan Rao dkk, (1994) menawarkan bahwa kenaikan infiltrasi itu tidak kuat pada limpasan tahunan dan perbedaan perlakuan pada tanah yg dilaksanakan tersebut kecil dan tidak konsisten. Hal itu memperkuat pertimbangan Yule dkk (1990) yang mempelajari tanggapan atas tanah yg dilakukan dari waktu ke waktu dan balasannya memperlihatkan bahwa berkurangnya limpasan hanya untuk suatu jangka pendek setelah tanah tersebut dijalankan, tetapi kemudian terjadi degradasi struktural dan pembentukan kerak yang lebih banyak pada permukaan (Rao dkk, 1994). Asseline dkk., (1994) menyatakan bahwa pembuatan tanah justru mampu mengganggu tanah dan mengganti relasi massa volume tanah. Hilangnya topsoil meminimalkan bulk density tanah dan mengembangkan pemadatannya. Sebaliknya menurut Gajri dan rekan dalam suatu goresan pena yang tidak diterbitkan, pergeseran kekuatan tanah pasir balasan pengelolaan justru tetap bertahan sampai waktu panen, tidak seperti bulk density (Gajri dan Prihar, 1994).

Oleh alasannya adalah itu praktek administrasi pengelolaan tanah berdasarkan Rao, dkk, (1994), mesti bertujuan memaksimalkan infiltrasi air hujan ke tanah. Hal ini pada gilirannya berhubungan dengan pengelolaan permukaan tanah yang memadat. Berbagai opsi administrasi pengelolaan tanah yang tersedia berdasarkan Rao dkk (1994) adalah:

1. Memecah permukaan yang padat secara mekanis,

2. Melindungi permukaan dari degradasi struktural selaku dampak turunnya hujan, dilakukan dengan penerapan residu flora selaku mulsa;

3. Meningkatkan struktur tanah, dengan penambahan pupuk kandang peternakan yang cenderung mengembangkan stabilitas struktur tanah.

Residu flora yang ditinggalkan di permukaan tanah terbukti efektif melindungi tanah dari imbas hujan dan mengurangi kecepatan angin di permukaan tanah, sampai tumbuhnya kanopi tumbuhan berikutnya. Awalnya dikerjakan pembajakan untuk mengganti tanah yg dilakukan, membalikkan tanah dan mengubur residu tanaman, sehingga permukaan tanah yang retak menjadi lebih gembur, meninggalkan serpihan akar, membunuh rumput liar, dan meninggalkan sebagian besar residu tanaman pada permukaan tanah. Namun, akibatnya pada penanaman berikutnya, sering dibutuhkan pekerjaan aksesori yakni pengendalian gulma, alasannya sebagian besar permukaan tanah terkubur oleh residu tumbuhan. Untuk itu dipakai materi kimia atau variasi bahan kimia untuk mengendalikan gulma (Scherts dan Kemps, 1994). Selain pengendalian gulma, pergantian topografi mikro dan pencampuran amandemen, tanah yg dilakukan juga ditujukan untuk pengentasan kendala tanah yang terkait dengan pertumbuhan tanaman. Struktur fisik tanah sering berubah dengan pembuatan tanah dan dan pada gilirannya mempengaruhi lingkungan edaphic tanah (yaitu, impedansi mekanis, ketersediaan air tanah dan aerasi dan rezim termal) di persemaian dan/atau akar persemaian. Sejauh mana aspek ini akan berubah tergantung pada kondisi tanah yang ada dan jenis dan metode penerapan alat pada tanah yg dikerjakan.

Adapun laba tata cara CRM berdasarkan Scherts dan Kemps (1994) antara lain:

1. mengurangi abrasi tanah oleh air, besarnya beraneka ragam dari 40 sampai lebih dari 90 persen tergantung pada jumlah penutup permukaan tanah yang tersisa di permukaan. Namun, efektivitas pengendalian abrasi residu tanaman juga ditentukan oleh aspek-aspek mirip jenis, jumlah dan cara aplikasi mulsa (Khera dan Kukal, 1994; Williams, John D., dkk., 2000). Manfaat dari residu tanaman permukaan dalam menghemat pengikisan tanah oleh air juga berkorelasi akrab dengan penghematan pengikisan angin;

2. meningkatkan bahan organik pada tanah dari 1,87 % menjadi 4% dalam waktu sekitar 15 tahun, lewat penggunaan residu atau mulsa (Sparrow, dkk., 2006). Dengan adanya mulsa maka terjadi kenaikan jumlah materi organik, dapat memajukan produktivitasnya dan akan lebih susah tererosi, sebab meningkatkan stabilitas agregat tanah dan infiltrasi, yang berikutnya mampu meminimalkan pengikisan tanah; (Khera dan Kukal, 1994; Rao dkk., 1994; Govaerts dkk, 2007). Residu tanaman penutup menghalangi air hujan sebelum mereka mencapai tanah, menetralkan energi yang tersimpan dan dengan demikian meminimalkan pelepasan tanah dan transportasi. Bahan organik juga menghalangi kecepatan aliran permukaan sehingga mengalir dengan kecepatan yang tidak menghancurkan (Khera dan Kukal, 1994; Arsyad, 2006). Sebaliknya penanaman yang intensif dapat menurunkan materi organik tanah kurang dari separuh dari yang ada sebelum budidaya dimulai;

3. meminimalisir efek kekeringan meningkat secara signifikan alasannya residu tanaman tersebut menciptakan kelembaban tanah (Arsyad, 2006; Govaerts dkk, 2007). Mempertahankan kelembaban tanah yaitu hal yang sungguh penting untuk pertanian. Menurut Jalota dan Prihar (1990), sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994), konservasi kelembaban tanah tersebut tergantung pada jenis tanah, keadaan iklim, dan kedalaman dan jenis tanah yg dilakukan. Namun di daerah-kawasan lembab, saat tumbuhan sungguh memerlukan air, hujan justru tidak selalu terjadi. Sebagai teladan, Bauer dan Black (1991) dalam Scherts dan Kemps (1994), memperoleh bahwa metode CRM yang bagus di Northern Great Plains di US, dapat menyimpan 6-10 cm kelembaban tanah dan mengembangkan sebesar 134 hasil gandum dan hasil barley sebesar 188 kg/ha.cm setiap pelengkap kelembaban;

4. memajukan infiltrasi dan kapasitas menahan air serta menurunkan air limpasan dan penguapan, Akibatnya produksi tumbuhan per unit curah hujan meningkat. Menurut Moore (1981) ketidakstabilan struktur tanah akhir hujan dapat membentuk pemadatan di permukaan, sehingga mampu meminimalisir infiltrasi dan memajukan limpasan. Akibatnya, air yang tersedia dalam profil akan menyusut (Rao dkk, 1994, Gajri dan Prihar, 1994). Dengan meninggalkan residu flora pada permukaan tanah melindungi permukaan tanah dari imbas tetesan air hujan, menghemat gangguan, dispersi, dan penyegelan permukaan tanah selanjutnya dan dengan demikian membantu mempertahankan tingkat infiltrasi yang tinggi dan meminimalisir kecepatan limpasan (Khera dan Kukal, 1994; Parr dkk., 1990 dalam Rao dkk., 1994), menawarkan lebih banyak air untuk produksi tumbuhan dan memajukan pengisian ulang ke aquifers, serta memajukan proses aerasi oksigen tanah;

5. mengembangkan populasi serangga dan cacing-cacing yang memakan permukaan dan menggali materi organik di dalam tanah untuk perlindungan (Govaerts dkk, 2007; Nikita dkk, 2009). Liang mereka sering memfasilitasi infiltrasi lebih singkat dan di beberapa daerah dapat secara signifikan meminimalkan limpasan;

6. meminimalkan evaporasi air dari tanah, meninggalkan lebih banyak air yang tersedia untuk dipakai tumbuhan (Gajri dan Prihar, 1994). Menurut Linden dkk (1987), sebagaimana dijelaskan oleh Scherts dan Kemps (1994); hanya dengan 30 persen residu tanaman yang menutupi permukaan tanah, maka potensi relatif evaporasinya meraih 70 persen daripada jikalau tidak ada residu tanaman. Penggunaan mulsa ternyata cukup efektif dalam melestarikan kelembaban tanah dan meningkatkan hasil panen (Khera dan Kukal, 1994). Sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994), di lingkungan sub-tropis India Utara, suhu di lapisan tanah yang dikerjakan dengan mulsa supra-maksimal selama isu terkini panas meningkatkan hasil panen jagung;

7. menjaga atau memajukan kualitas air permukaan. Pengelolaan residu tumbuhan membantu mempertahankan sedimen, kotoran binatang, patogen dan pestisida yang keluar dari permukaan di areal pengelolaan (Addiscott dan Dexter, 1994). Air yang meraih aquifers umumnya mengandung kurang dari 1 persen pestisida dan 99 persen adalah materi organik alami. Air yang telah disaring perlahan-lahan tersebut lewat Mollisols, dan praktis bebas dari patogen serta umumnya dapat diminum.


IV. Penyebaran penggunaan CRM di dunia

Sejak 1985, telah dikembangkan sekitar 1,7 juta planning konservasi oleh kongres AS lewat UU Ketahanan Pangan yang berisi beberapa ketentuan konservasi. Rencana ini melibatkan sekitar 58 juta ha lahan pertanian sangat kritis. Pada Desember 1993, sekitar 70 persen dari lahan sangat kritis dikonservasi. Petani memilih beberapa bentuk CRM untuk memenuhi tujuan tersebut, untuk membantu petani menertibkan pengikisan dan menerima manfaat dari acara USDA tersebut. Pemilihan metode ini-terutama sebab ekonomi dan faedah pengendalian pengikisan (Scherts dan Kemps, 1994).

Penerapan tata cara CRM terus meningkat di AS, didukung pula oleh Departemen AS Pertanian untuk menerapkan Rencana Aksi CRM yang komprehensif yang melibatkan lembaga 9 USDA (USDA, 1991) sebagaimana diuraikan oleh Scherts dan Kemps (1994). Rencana ini menekankan pada usaha:

1. Pengumpulan dan distribusi gosip ekonomi dari petani yang mempraktikkan metode CRM yang bagus;
2. Peningkatan pembinaan teknis untuk staf lapangan USDA;
3. Peningkatan kontak dengan petani,
4. Demonstrasi pertanian, dan
5. Peningkatan arus isu teknis dengan membangun aliansi CRM pertanian.

Pada tahun 1989, CRM di AS umumnya hanya memanfaatkan 15 persen atau kurang dari permukaan lahan yang ditutupi dengan sisa tanaman. Pada tahun 1995 metode CRM ditingkatkan, yang menutupi permukaan menjadi lebih besar daripada 15 persen lahan, dan hal itu mengembangkan bikinan hampir 75 persen dari areal yang ditanam. Tren CRM di AS memperlihatkan pengelolaan lahan tertutup 15% meningkat lebih cepat daripada tata cara yang lain. Untuk jagung, lebih singkat mengadopsi no-till daripada sistem CRM bentuk lain, diikuti dengan kedelai dan kapas. Pada kapas dikala ini cuma memakai no-till pada sebagian kecil dari total areal kapas. Prediksi menunjukkan bahwa kapas yang dikelola dengan no-till akan berkembangsecara dramatis dalam bertahun-tahun mendatang. Sementara itu penggunaan mulch-till selama 3 tahun terakhir lebih lambat daripada no-till meskipun pada mulanya juga meningkat. Menurut Smika dan Wicks (1968), metode yang paling efektif di AS untuk melestarikan ketersediaan air untuk tumbuhan yaitu dengan no-till (Scherts dan Kemps, 1994), sementara itu kemajuan gulma dikendalikan oleh herbisida dan benih ditaburkan secara pribadi ke dalam sisa tunggul dari flora sebelumnya.

Budidaya dan administrasi residu tumbuhan juga dapat menghipnotis, mempertahankan atau meningkatkan mutu air permukaan yang keluar dari permukaan di areal pengelolaan balasan penggunaan materi kimia yang dipakai untuk mengatur gulma. Cara-cara tersebut dilaksanakan oleh petani di negara-negara Eropa dengan tujuan untuk mengubah struktur tanah, mengubah jalur aliran air dan memajukan acara mikroba (Addiscott dan Dexter, 1994).

Residu tumbuhan dalam bentuk mulsa, sehabis dipotong-potong di sebarkan merata di atas permukaan tanah atau bila digunakan sebagai pupuk hijau dibenamkan ke dalam tanah baik secara merata atau dalam jalur-jalur tertentu. Menurut Arsyad, 2006, penggunaan mulsa pada tanah Latosol di Citayam dan Podsolik di Lampung, sudah diteliti oleh Suwardjo (1981), dan dimengerti bahwa mulsa selain menghemat abrasi juga mempengaruhi suhu tanah, kesanggupan tanah menahan air, kekuatan penetrasi, kemantapan agregat dan perbaikan aerasi tanah. Penelitian penggunaan mulsa di Indonesia juga pernah dilakukan oleh Sinukaban (2006) di kawasan Darmaga dan Jasinga. Menurut Lal, Pribar, Siny dan Sandhu (1979) sebagaimana dijelaskan oleh Arsyad (2006), penurunan suhu tanah di kawasan tropika merupakan salah satu aspek penyebab meningkatnya hasil flora. Daya guna mulsa dalam melindungi tanah dari daya perusak/abrasi butir-butir hujan diputuskan oleh persentase penutupan tanah oleh mulsa tersebut (Sinukaban, 2006).

Beberapa studi pengukuran kekuatan tanah, menunjukkan bahwa tanah yg dibajak kekuatan tanahnya terhadap erosi oleh air berkurang secara signifikan di lapisan yang digarap. Sebaliknya Gangwar K.S dkk (2006) sudah mengambarkan bahwa dengan dikuranginya pembajakan namun tetap menggunakan residu tanaman pada tanah lempung berpasir di dataran Gangga India mampu meraih buatan gandum yang maksimal sehabis sebelumnya ditanami padi apalagi dahulu. Williams, John D., dkk. (2000) juga pertanda pertanian lahan kering di plato Columbia, Oregon dan Washington (AS) bahwa tanah yg dibajak memang mampu mengontrol gulma dan penyakit dan secara konsisten menghasilkan hasil panen yang baik. Sayangnya, mereka juga merusak struktur tanah dan menjadikan banyak kerugian dengan air tanah erosi. Sebuah tata cara konservasi baru memakai residu tumbuhan manajemen, yang lumbung-metode bajak, telah menawarkan akad untuk pengendalian gulma.

Tanah yg dimasak secara konvensional, yakni dengan pembajakan, kadang kala membuat keadaan yang mampu menghalangi mikroba dan gerakan cacing tanah dalam mempercepat dekomposisi residu tumbuhan, yang pada alhasil meminimalisir pasokan kuliner untuk cacing tanah. Dampak negatif ini dapat diselesaikan dengan mempertahankan residu flora di agroecosystems. Nikita dkk (2009) sudah melakukan observasi untuk menentukan imbas dari banyak sekali tanah yg dijalankan dan praktek-praktek pengelolaan residu tumbuhan pada populasi cacing tanah di di Quebec, Kanada. Pertumbuhan cacing tanah diperhatikan pada tiga tata cara tanah yg dijalankan: dengan moldboard bajak/garu disk (CT), dengan pahat bajak atau garu disk (RT), pada tanah yg yang tidak dimasak sama sekali (NT), serta pada tanah dengan dua tingkat input residu flora (tinggi dan rendah). Hasilnya dimengerti bahwa populasi dan biomassa cacing tanah dalam jangka panjang lebih besar pada tanah yang tidak dimasak (NT) daripada yang dibajak (CT dan RT), tetapi rupanya keadaan tersebut tidak dipengaruhi oleh residu flora.

Tanah yang tidak dimasak (ZT) menghipnotis infiltrasi air dan kadar kelembaban tanah yang lebih besar ketika residu tanaman tersisa di lapangan dibandingkan dengan dikala tidak ada residu. Tingkat infiltrasi menjadi lebih tinggi dan menguntungkan alasannya didukung meningkatnya kelembaban tanah yang meraih 30%. Walaupun terjadi pembusukan akar tanaman Jagung akhir kenaikan kelembaban tanah yang disebabkan oleh residu tumbuhan, akan namun dengan melakukan rotasi jagung dengan gandum meminimalisir insiden akar membusuk jagung sampai 30%. Secara lazim, insiden penyakit akar lebih rendah pada gandum (sampai 3 pada skala 7) dibandingkan dengan jagung (hingga 3,93 pada skala 4) untuk semua jenis pengolahan. Insiden akar membusuk dan populasi nematoda benalu ini juga tidak berkorelasi dengan hasil. Walaupun penyakit akar tanaman mungkin menghipnotis produktivitas, namun dampaknya masih lebih kecil jikalau dibandingkan efek faktor-aspek seperti berkurangnya infiltrasi dan ketersediaan air. Baik keadaan mikroflora maupun lingkungan memainkan peran kunci secara biologis dan keadaan patogen tanah. Praktek-praktek pengelolaan tanah dengan tanpa pembuatan mirip ini juga sudah dijalankan di kawasan semi-kering dan sawah tadah hujan pada dataran tinggi subtropis Meksiko Tengah (Govaerts, dkk. 2007).

Peningkatan mutu tanah balasan peningkatan materi organik juga dibuktikan oleh Sparrow, Stephen D., dkk., (2006) pada observasi mereka di Alaska untuk berbagai tipe pembuatan tanah yaitu yang tanpa pengolahan (NT), sekali pengolahan setiap trend semi (DO), dan dua kali pembuatan (DT, trend semi dan isu terkini gugur). Diketahui bahwa hasil gabah, yang rata-rata 1.980 kg/ha selama lebih dari 17 tahun di seluruh wilayah studi, memberikan bahwa yang tertinggi yakni yang cuma sekali pengolahan (DO) dan tidak berlawanan secara nyata antara NT dan DT, namun gulma yaitu persoalan serius pada tanah yang yang tanpa pembuatan (NT). Dikuranginya praktek-praktek pembuatan tanah dapat mengembangkan kualitas tanah dan melestarikan bahan organik, namun untuk jangka panjang di daerah subarctic, tanah yang tanpa pengolahan (NT), tidak dapat dilaksanakan sebab adanya dilema gulma.


V. Keberlanjutan penggunaan teknologi CRM

Setiap praktek konservasi pertanian dikala ini harus hemat supaya dapat diadopsi secara luas oleh para petani. Data menunjukkan bahwa metode CRM hemat dan menawarkan keuntungan higienis sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yg dijalankan dengan cara lain. Petani mampu melakukan praktek ini dengan perlengkapan mereka apa adanya tanpa atau cuma ada pergeseran kecil seperti beralih dari sekop bengkok ke sekop lurus atau garu agar lebih meninggalkan residu tumbuhan pada permukaan tanah. Selain menerapkan tata cara CRM terdapat beberapa fatwa KTA di kalangan petani AS agar memberikan penghasilan bersih yang lebih tinggi antara lain mengurangi jumlah, kedalaman dan kecepatan operasi tanah yg dilaksanakan, serta memakai alat tertentu. Namun tidak sampai 3 tahun penggunaan CRM sudah meningkat dari 8 juta ha menjadi 14 juta ha di Amerika Serikat (Scherts dan Kemps, 1994).

Studi wacana dampak flora epilog dan praktek-praktek pengelolaan residu untuk konservasi tanah dan air sudah dilakukan pula oleh para mahir di dunia, mirip Khera dan Kukal (1994) di tempat Punjab. Sementara itu sebagaimana diuraikan oleh Prihar dkk, (1979), sejumlah penelitian di kawasan-tempat tadah hujan juga menunjukkan hasil bahwa mulsa jerami sangat bagus digunakan dalam KTA untuk tujuan memajukan hasil panen (Khera dan Kukal, 1994).

Residu tanaman di banyak negara dipakai selaku pakan binatang atau materi bakar untuk mengolah masakan. Tuntutan-permintaan ini menaikkan harga relatifnya (dari US $20 hingga $40 per ton jerami gandum di Asia Selatan). Menghilangkan pengelolaan tanah mampu meminimalkan kebutuhan untuk hewan pembajak dan sisa tumbuhan untuk pakan mereka. Pengalaman di daerah iklim semi arid AS, bahwa meninggalkan residu tanaman pada tanah dapat menjadi investasi yang baik bahkan residu tersebut juga memiliki nilai penting untuk keperluan lain. Penggunaan jangka panjang tata cara no-till terkait dengan efisiensi penggunaan air sehingga memungkinkan banyak petani di tempat tersebut bercocok tanam rapeseed, jagung, kedelai, kacang polong, lentil, sorgum, dan bunga matahari yang memerlukan lebih banyak air dibandingkan dengan gandum sebagai flora utama. Keuntungan besar yang dihasilkan dari CRM, meningkatkan kelonggaran pemanfaatan pasar dan rotasi flora, biar efektif dalam memecahkan serangga, gulma, penyakit, dan nematoda dari siklus monokultur. Bauer dan Black (1991) menunjukkan pengalaman di dataran tengah bagian utara dan selatan Amerika Serikat, bahwa setiap cm air yang disimpan akan meningkatkan tambahan hasil gandum sekitar 100 kg/ha/cm (Scherts dan Kemps, 1994).

Air memang ialah aspek utama yang menghalangi produksi tanaman. Residu flora pada permukaan tanah menunjukkan kenaikan yang cukup besar dalam buatan dengan memajukan efisiensi penggunaan hujan. Sebagian besar hasil panen di tanah Alfisols Semi Arid Tropik terkendala oleh ketersediaan air. Oleh alasannya adalah itu dibutuhkan praktek manajemen pengelolaan tanah yang dapat mengurangi kerugian dan mengembangkan penggunaan air hujan yang diperlukan (Rao, dkk., 1994). Penelitian dengan memakai model simulasi menyimpulkan bahwa untuk mengatasi interaksi kompleks dari komponen tata cara produksi yang berkesinambungan, sungguh memerlukan gosip perihal pergantian pengelolaan tanah. Selain itu, berita kuantitatif tentang flora, fisik tanah, kimia dan biologi lingkungan juga diperlukan (Gajri dan Prihar, 1994).

Bagi para petani yang berasal dari Plateau Potwar Pakistan dan daerah semiarid yang lain muncul pertanyaan apakah residu tumbuhan dapat memberikan hasil yang lebih baik bila dijual ke pasar atau ditinggalkan di tanah untuk meningkatkan hasil panen tahun depan? Saat ini sebagian besar Plateau Potwar Pakistan telah tandus dan terkikis, dengan curah hujan hanya 40-60 cm per tahun. Hal tersebut dipicu dengan meningkatnya populasi penduduk yang memakai pohon untuk bahan bakar dan konstruksi serta pemanfaatan rumput untuk pakan binatang. Asumsikan bahwa tanpa sisa, maka air yang tersedia di lapangan untuk tanaman sekitar setengah dari 50 cm curah hujan per tahunnya. Dengan curah hujan yang hanya 25 cm, para petani akan bisa menghasilkan sekitar 1.700 kg gandum dan sekitar 2000 kg jerami per ha. Dengan perkiraan harga padi-padian dan jerami adalah US$0.11 dan $0,03 per kg, masing-masing, maka penghasilan bruto biji-bijian yakni US $187, ditambah US $60 untuk jerami, sehingga totalnya US $247 per ha. Jika petani Potwar dapat menyimpan 15 cm dari 25 cm hujan akan memajukan produksi 1.500 kg per ha menjadi total sekitar 3.200 kg per ha, dengan US $0,11 per ha petani akan mendapatkan penghasilan kotor $352 per ha untuk padi. Jerami yang dihasilkan juga akan meningkat, namun jerami akan diperlukan di lapangan untuk konservasi tanah dan air. Petani akan menyertakan biaya untuk pupuk suplemen biar mendapatkan hasil yang lebih tinggi, namun ongkos ini mungkin akan lebih kecil dari biaya pengangkutan ke pasar dan buruh terlibat, mirip untuk menyiangi rumput hijau sebagai pakan untuk ternak, atau dapat untuk mengontrol gulma. Selain itu juga dipakai herbisida untuk mengontrol kemajuan gulma, sehingga menghemat atau menetralisir pengelolaan tanah yang mengubur sisa-sisa tumbuhan dan meminimalisir efektivitas konservasi air.

Roldán, A dkk., (2003) menyimpulkan bahwa praktek-praktek konservasi pembuatan tanah mampu memperlihatkan bantuan teknologi alternatif untuk pertanian berkesinambungan di DAS Patzcuaro Meksiko, yang dapat disebarkan ke kawasan serupa di kawasan lain di Amerika Latin. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa pembuatan tanah yang intensif secara konvensional untuk tumbuhan jagung (Zea mays L.) telah menyebabkan degradasi mutu tanah di Daerah Aliran Sungai Patzcuaro di Meksiko tengah. Kesimpulan tersebut diperoleh atas hasil evaluasi percobaan penanaman jagung dengan tujuh perawatan pengelolaan tanah yang diimplementasikan pada tanah lempung berpasir Andisol adalah pada tanah yg dilaksanakan konvensional, pada tanah yg tanpa pengolahan dan pada tanah dengan aneka macam persentase cakupan permukaan residu (0, 33, 66 dan 100%), serta pada tanah tanpa pengolahan dengan 33% residu flora penutup Vicia entah sp. atau Phaseolus vulgaris L. Hal yang nyaris sama juga dikerjakan oleh Sinukaban (2006) di Darmaga. Berbagai alternatif administrasi pengolahan tanah tersebut telah menawarkan hasil kenaikan komponen hara. Sebagian besar karakteristik kualitas tanah berkembangberbanding lurus dengan input residu. Penggunaan administrasi tanah tanpa pengolahan maupun pembuatan tanah yang minimum bahu-membahu dengan sisa tanaman dalam jumlah yang moderat (33%) dan ditanami spesies polongan cepat memperbaiki beberapa karakteristik mutu tanah.


DAFTAR PUSTAKA
  • Addiscott, T.M dan A.R. Dexter, A.R. (1994) “Tillage and Crop Residue Management Effects on Losses of Chemicals from Soils” Soil and Tillage Research, Volume 30, Issues 2-4, June, hlm. 125-168.
  • Arsyad, Sitanala (2006). Konservasi Tanah dan Air, Ed. Ke-2, Penerbit IPB, Bogor, hlm. 122, 148
  • Asseline,J dkk., (1994). “Soil Erodibility in Mediterranean Mountains of Aveyron (Southern France)”, 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New Delhi, India, hlm.1321-1330.
  • Gajri, P.R dan Prihar, S.S. (1994). “Role of Tillage in Crop Production-The Indian Experience”, 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New Delhi, hlm.1305-1320.
  • Gangwar, K.S. dkk (2006) “Alternative Tillage and Crop Residue Management in Wheat after Rice in Sandy Loam Soils of Indo-Gangetic Plains” Soil and Tillage Research, Volume 88, Issues 1-2, July, hlm. 242-252.
  • Govaerts, Bram dkk (2007) "Infiltration, Soil Moisture, Root Rot and Nematode Populations after 12 years of Different Tillage, Residue and Crop Rotation Managements” Soil and Tillage Research, Volume 94, Issue 1, May, hlm. 209-219.
  • Khera, K.L. dan Kukal, S.S. (1994). “Soil and Water Conservation through Crop Cover and Residue Management, , 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New Delhi, hlm. 1295-1304.
  • Nikita dkk (2009) “Earthworm Populations and Growth Rates Related to Long-term Crop Residue and Tillage Management” Soil and Tillage Research, Volume 104, Issue 2, July, hlm. 311-316
  • Rao, K.P.C., dkk (1994). “Effect of Soil Management Practices on Runoff and Infiltration Processes of Hardsetting Alfisol in Semi-Arid Tropics”, 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New Delhi, hlm.1287-1293.
  • Roldán, A dkk., (2003). “No-Tillage, Crop Residue Additions, and Legume Cover Cropping Effects on Soil Quality Characteristics under Maize in Patzcuaro Watershed (Mexico)” Soil and Tillage Research, Volume 72, Issue 1, July, hlm. 65-73.
  • Sandretto, Carmen. Agricultural Chemicals and Production Technology: Glossary http://www.ers.usda.gov/Briefing/AgChemicals/glossary.htm [21 December 2000]
  • Scherts, D.L. dan Kemps, W.D. (1994). “Crop Residue Management System and Their Role in Achieving a Sustainable, Productive Agriculture”, 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New Delhi,hlm.1255-1265.
  • Scherts, D.L. (1994). “Conservation Tillage -A Natinal Perspective”. www.ag.auburn.edu/auxiliary/nsdl/scasc/Proceedings/.../Schertz.pdf
  • Sinukaban, Naik (2007). Konservasi Tanah dan Air: Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal RLPS, Ed. Ke-1, hlm.
  • Sparrow, Stephen D., dkk., (2006). “Soil Quality Response to Tillage and Crop Residue Removal under Subarctic Conditions” Soil and Tillage Research, Volume 91, Issues 1-2, December, hlm. 15-21.
  • Williams, John D., dkk. (2000) "Mow-Plow Crop Residue Management Influence on Soil Erosion in North-Central Oregon” Soil and Tillage Research, Volume 55, Issues 1-2, May, hlm. 71-78.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)