Selasa, 04 Agustus 2020

Makalah Wacana Pemahaman Studi Teologi Islam

Makalah Pengertian Studi Teologi Islam

Teologi, selaku mana diketahui membicarakan fatwa-pemikiran dasar dari sebuah agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang akidah-iktikad berdasarkan pada landasan yang besar lengan berkuasa, yang tidak gampang diumbang-ambing oleh peredaran zaman. Istilah “Theology Islam” sudah usang diketahui oleh penulis-penulis Barat. Teologi dari sisi etimologi memiliki pengertian “Theos” artinya Tuhan dan “Logos” artinya ilmu (science, studi, discourse). Jadi teologi memiliki arti ilmu ihwal Tuhan atau ilmu “Ketuhanan”.1 Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilm al kalam, teolog dalam Islam diberi nama mutakallimin ialah hebat debat yang cendekia memakai kata-kata.2

Secara terminologi teologi Islam atau yang disebut juga Ilmu Kalam yakni ilmu yang membahas ushul sebagai sebuah aqidah tentang keEsaan Allah swt, wujud dan sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan sebagainya yang diperkuat dengan dalil-dalil aqal dan meyakinkan.3 Teologi lebih luas pandangannya dari pada fikih. Kalau fikih membicarakan soal haram dan halal, teologi di samping soal ke Tuhan-an membahas pula soal keyakinan dan kufur; siapa yang sebenarnya Muslim dan masih tetap dalam Islam, dan siapa yang bantu-membantu kafir dan telah keluar dari Islam. Termasuk dalam pembahasan itu soal Muslim yang melaksanakan hal-hal yang haram dan soal kafir yang melakukan hal-hal yang bagus. Dengan demikian teologi membicarakan soal-soal dasar dan soal pokok dan bukan soal furu’ atau cabang dan ranting yang menjadi pembahasan fikih. Dengan demikian tinjauan teologi akan memberi persepsi yang lebih lapang dan sikap yang lebih toleran dari tinjauan hukum atau fikih.4

Sebelum kajian teologi (ilmu kalam) lahir selaku suatu ilmu yang bangun sendiri, menurut Imam Abu Hanifah dia termasuk dalam Al-Fiqhul Akbar atau juga disebut dengan Al-Fiqhud Din.5 Sebutan Ilmu Kalam yang bangun sendiri sebagai suatu ilmu sebagaimana yang kita kenal kini untuk pertama kalinya lahir pada era khalifah Ma’mun (218 H). Dengan demikian Ilmu Kalam (Teologi) lahir lewat era yang panjang. Kehadirannya didorong oleh berbagai faktor yang mendahului baik yang terjadi dalam tubuh kaum muslimin sendiri, maupun faktor yang tiba dari luar. Untuk penentuan lapangan dan corak pembahasan, perkataan “Teologi” dibubuhi dengan informasi kualifikasi, mirip “teologi filsafat”, “teologi kala kini” (contemporary theology), “teologi kristen”, “teologi katholik” bahkan dibubuhi dengan kualifikasi lebih terbatas, seperti “teologi wahyu” (revealed theology), “teologi polemik”, “teologi fikiran” (teologi yang berdasarkan pikiran=rational theology) “teologi sistematika” dan seterusnya. Ringkasnya, teologi yakni ilmu yang membahas tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan pengusutan nalar murni.6


Pengertian Istilah-perumpamaan Kunci

1. Tawhid

Tawhid yaitu ilmu yang membahas wacana cara-cara memutuskan ‘aqidah agama dengan memanfaatkan dalil-dalil yang meyakinkan, baik dalil-dalil itu menggunakan dalil-dalil naqli, naqli ‘aqli ataupun dalil wijdani (perasaan halus). Dinamakan ilmu ini dengan tauhid yaitu karena bahasan-bahasan yang paling menonjol ialah pembahasan ihwal keesaan Allah yang menjadi sendi asasi agama Islam, bahkan sendi asasi bagi segala agama yang benar yang sudah dibawakan oleh para Rasul yang diutus Allah. Ilmu tawhid dinamakan juga dengan ilmu kalam alasannya problema-problema yang diperselisihkan para ulama-ulama Islam dalam ilmu ini yang menyebabkan umat Islam terpecah dalam beberapa kalangan ialah problem Kalam Allah yang kita bacakan (al Qur’an) apakah dia makhluk (diciptakan) ataukah qadim (bukan diciptakan).7

Teologi yang diajarkan di Indonesia pada umumnya yakni teologi dalam bentuk ilmu tawhid. Ilmu tawhid biasanya kurang mendalam dalam hal pembahasannya dan kurang bersifat filosofis. Selanjutnya alasannya ilmu tawhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari anutan-anutan atau kalangan-kelompok lain yang ada dalam teologi Islam. Ilmu tawhid yang diajarkan dan yang dikenal di Indonesia kebanyakan yaitu ilmu tawhid berdasarkan pedoman Asy’ariyah, sehingga timbullah kesan di kalangan sementara umat Islam Indonesia, bahwa inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.

2. Kalam

Kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujudnya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang harus ada padaNya, sifat-sifat yang tidak ada padaNya dan sifat-sifat yang mungkin ada padaNya dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang harus ada padanya, sifat-sifat yang mustahil ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya. Ilmu ini dinamakan ilmu kalam (teologi) alasannya adalah dasar ilmu kalam adalah dalil-dalil anggapan dan dampak dalil-dalil ini nampak terperinci dalam obrolan-obrolan para mutakallimin.8 Mereka berlainan dengan golongan Hanabilah yang berpegangan teguh kepada iman orang-orang salaf. Berbeda juga dengan orang-orang tasawuf yang mendasarkan pengetahuannya (ilmunya; ma’rifah) terhadap pengalaman batin dan renungan atau kasyf (terbuka dengan sendirinya). Mutakallimin juga berbeda dari kelompok filosof yang menggantikan aliran-pedoman filsafat Yunani dan menganggap bahwa filsafat itu benar seluruhnya. Juga mereka berlawanan dengan kelompok Syi’ah Ta’limiyyah (doctrinaire) yang mengatakan bahwa dasar utama untuk ilmu, bukan yang didapati akal bukan pula yang didapati dari dalil-dalil naql (Qur’an dan Hadis), tetapi didapati dari kepercayaan-keyakinan mereka yang suci (ma’sum).9

3. Ushul al-Din

Ushul al din ialah ilmu yang membahas padanya tentang prinsip-prinsip iktikad agama dengan dalil-dalil yang qath’i (al Qur’an dan Hadis mutawatir) dan dalil-dalil akal asumsi. Ilmu ushul al din dinamakan juga dengan ilmu kalam (teologi) alasannya ilmu ini membahas wacana prinsip-prinsip agama Islam.10 Dalam istilah Arab anutan-anutan dasar itu disebut ushul al din dan oleh alasannya adalah itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam senantiasa diberi nama kitab Ushul al Din oleh para pengarangnya. Ajaran dasar itu disebut juga ‘aqa’id, credos atau akidah-kepercayaan dan buku-buku yang mengupas iktikad-doktrin itu diberi judul al ‘aqa’id seperti Al ‘Aqa’id al Nasafiah dan Al ‘Aqa’id Adudiah.11

Pertumbuhan dan Perkembangan Kajian Teologis dalam Islam

Pada zaman Rasul saw sampai kala pemerintahan Usman bin Affan (644-656 M) dilema teologis di kalangan umat Islam belum muncul. Problema itu gres timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) dengan munculnya kelompok Khawarij, penunjang Ali yang memisahkan diri karena tidak baiklah dengan perilaku Ali yang mendapatkan tahkim (arbitrase) dalam menuntaskan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam pada waktu perang Shiffin.12

Harun Nasution mengikuti Asy Syahrastani dalam pengungkapannya bahwa persoalan politik ialah argumentasi pertama munculnya persoalan teologi dalam Islam.13 Khawarij berpendapat, tahkim yaitu penyelesaian persoalan yang tidak didasarkan terhadap al Qur’an, namun diputuskan oleh insan sendiri, dan orang yang tidak menetapkan aturan dengan al Qur’an ialah kafir. Dengan demikian orang yang melakukan tahkim dan mendapatkannya yaitu kafir. Argumen mereka sesungguhnya sangat sederhana, Ali, Mu’awiyah dan pendukung-penunjang mereka seluruhnya kafir sebab mereka murtakib al Kabirah atau “pendosa besar”.14

Dalam pertumbuhan selanjutnya Khawarij tidak hanya menatap orang yang tidak menghukumkan sesuatu dengan al Qur’an selaku kafir, namun setiap muslim yang melakukan dosa besar bagi mereka yaitu kafir. Pendapat ini menerima reaksi keras dari kaum muslimin lain sehingga timbul pedoman baru yang dikenal dengan nama Murji’ah. Menurut pendapat pemikiran ini, muslim yang berbuat dosa besar tidak kafir, dia tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya terserah Allah, diampuni atau tidak. Belakangan lahir anutan gres lagi, Mu’tazilah yang berpendapat muslim yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi menempati posisi di antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain).15 Masuknya filsafat Yunani dan aliran rasional ke dunia Islam pada abad kedua Hijriah menjinjing dampak besar kepada kemajuan pedoman teologis di kelompok umat Islam. Mu’tazilah mengembangkan pemikirannya secara rasional dengan menempatkan nalar di daerah yang tinggi sehingga banyak produk pemikirannya tidak sejalan dengan pendapat kaum tradisional.

Pertentangan pendapat di antara dua kalangan inipun terjadi dan mencapai puncaknya ketika al Makmun (813-833 M), khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah menimbulkan Mu’tazilah selaku mazhab resmi negara dan memaksakan paham Mu’tazilah kepada kaum muslimin. Sebagai penganut dan pendukung ajaran Mu’tazilah Khalifah al Makmun memandang perlu untuk memberikan pelajaran terhadap golongan ahli hadis sebab kesabaran mereka untuk menjaga bahwa Quran bukanlah “diciptakan” (makhluq) yang kian merajalela, khususnya di Baghdad. Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di Baghdad antara kelompok mahir hadis dan orang-orang Syi’ah tentu meresahkan keamanan di ibukota tersebut. Sebagai seorang khalifah yang berusaha menerima santunan kaum Syi’ah tak aneh jika ia menawarkan perilaku bermusuhan kepada jago hadis. Quran sebagai topik kontroversial mungkin lebih ialah alasan yang diciptakan guna menunjukkan casus belli kepada tokoh-tokoh mahir hadis. Hal ini akan menjadi jelas bila diperhatikan berkobarnya debat dan diskusi antara golongan Mu’tazilah dan para penentang mereka, khususnya jago hadis. Juga langkah-langkah-tindakan yang berlebihan oleh komponen-unsur jago hadis kepada golongan Mu’tazilah semasa pemerintahan Harun ar-Rasyid telah mengundang reaksi, semacam penebusan. Kecenderungan ini menjadi lebih memungkinkan berkat tunjangan yang diberikan para pembantu khalifah, baik alasannya dasar politik maupun ideologis.16

Khalifah al Makmun melakukan mihnah (inkuisisi) di kelompok abdnegara pemerintah yang bermaksud memberlakukan paham bahwa Quran adalah makhluq. Ketika persoalan itu ditanyakan kepada Imam Ahmad (164-241 H), dengan tegas beliau menentang paham tersebut. Karena berpegang teguh pada pendapatnya ini, Ahmad dipenjarakan pada tahun 218 H. Bahkan dia terus mempertahankan pendapatnya, meskipun banyak di antara para perawi hadis pada abad itu yang lantas sependapat dengan al Makmun. Baru pada tahun 233 H kebijaksanaan mihnah dihapuskan oleh khalifah al Mutawakkil dan Ahmadpun dibebaskan. Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al Buwaiti (w. 231 H), murid terbesar asy Syafi’i, di simpulan hayatnya menjadi korban mihnah (inkusisi) alasannya adalah menjaga pendapatnya bahwa Quran bukan makhluq (tidak diciptakan, sebab Quran adalah kalam Allah, sedangkan Allah SWT adalah pencipta). Ia lalu dipenjara sampai wafat.17 Al Mutawakkil naik tahta pada tahun 232/847 melalui banyak sekali intrik dan kompetisi di kalangan para perwira Turki. Tindakannya yang perlu dicatat adalah menghentikan mihnah dan pembicaraan mengenai apakah Quran makhluq atau tidak. Kaum Mu’tazilah yang semula memiliki efek besar atas istana, tidak lagi menerima kawasan istimewa. Sebaliknya kaum mahir hadis yang semula menerima banyak kesusahan dengan adanya mihnah sekarang menerima angin, walaupun tidak memiliki arti bahwa mereka menggantikan posisi lawan mereka yang berpengaruh sebelumnya atas para khalifah.18 Reaksi keras kaum tradisional menentang Mu’tazilah, pada akibatnya berwujud dalam bentuk suatu pemikiran teologi yang dikenal dengan nama Ahlussunnah waljamaah, dengan tokoh khususnya Abu al Hasan Ali al Asy’ari dan abu Mansur al Maaturidi.

Terkecuali beberapa pedoman teologi sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi beberapa anutan teologi dalam Islam seperti Syiah, Qadariyah dan Jabariyah. Aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah ialah ajaran yang meningkat pada abad lampau. Sekarang yang dianut secara umum dikuasai umat Islam ialah anutan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dalam soal keyakinan menganut paham moderat Murji’ah. Tetapi, ajaran rasional Eropa yang berasal dari Islam era kedua belas itu masuk kembali ke dunia Islam periode kesembilan belas dan kedua puluh, dan membangkitkan kembali aliran rasional Mu’tazilah periode silam. Dalam pada itu, kaum Syi’ah dari sejak semula tetap menganut fatwa rasional dan filosofis Mu’tazilah. Inilah salah satu karena yang menenteng kalangan intelektual muda Islam di Indonesia terpesona kepada buku-buku yang dikarang penulis-penulis Syi’ah. Tulisan-goresan pena para pengarang al Asy’ariah pada umumnya bercorak tradisional deskriptif dan jarang bercorak analisis rasional apalagi filosofis.

Fazlur Rahman membenarkan bahwa fatwa-aliran teologi semata-mata semakin menjadi bertambah bertentangan dalam pengertian teoritis.19 Selanjutnya simpulan-simpulan ini timbul pemikiran dari sebagian pakar di Indonesia yang menghendaki supaya diadakan kajian kepada teologi yang lebih memusat pada manusia (antropo centris) dan bukan teologi yang terlalu memusat pada Tuhan (theo centris). Untuk ini perlu adanya pembaharuan teologi, adalah pedoman keagamaan yang merefleksikan respons manusia terhadap wahyu Allah. Meskipun di kalangan umat Islam, terutama umat Islam Indonesia, pembaharuan teologi ini kurang populer alasannya cara berfikir fiqh sudah begitu mapan di kelompok umat Islam Indonesia, tetapi walau bagaimanapun pembaharuan teologi mesti dilakukan bila umat Islam ingin menerapkan pedoman Islam dalam kerangka kehidupan sosial yang baru dan dalam kerangka budaya universal selaku pedoman dalam merumuskan rancangan-rancangan hidupnya.20

Gagasan untuk mencari dan menentukan (antropo centris) sebagaimana dikehendaki itu bekerjsama terdapat dalam teologi Mu’tazilah. Mu’tazilah misalnya menganut paham Qadariyah yang mengatakan bahwa insan mempunyai kebebasan dalam menentukan opsi untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya. Perbuatan yang dilakukannya itu adalah perbuatannya sendiri, bukan diputuskan oleh Tuhan. Paham serupa ini mendorong manusia menjadi kreatif dan dinamis, bertanggung jawab dan berani mengambil inisiatif. Sikap insan yang demikian ini sejalan dengan contoh hidup terbaru. Demikian pula paham Mu’tazilah perihal keadilan Tuhan ialah sungguh mengandung pesan anthropo centris itu. Menurut paham ini Tuhan mesti berbuat sesuai dengan kesanggupan yang ada pada insan, dan dihentikan berbuat di luar kemampuan insan itu. Manusia juga dianggap dapat menentukan baik dan jelek berdasarkan kreatifitasnya sendiri, tanpa menunggu komando wahyu dari Tuhan. Dengan demikian terbukalah gagasan inovatif dan inovatif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Demikian pula keharusan menjauhi perbuatan yang buruk atau jahat sekalipun wahyu belum tiba telah harus dikerjakan. Dengan demikian tidak akan terjadi perbuatan sekehendak hati melainkan ada aturan yang disepakati dan kemudian bermetamorfosis norma. Selain itu manusia juga dituntut untuk berbagi perilaku berbuat baik dan menjauhi perbuatan munkar. Teologi Mu’tazilah kelihatannya akan menjadi teologi yang sejalan dengan permintaan zaman, dan akan dipertimbangkan alasannya adalah sifatnya yang banyak melahirkan kreatifitas insan meskipun ini gres dalam dataran teoritis yang masih perlu dibuktikan.21

Sebaliknya adanya dominasi teologi Asy’ariyah dengan beberapa karakteristiknya mendorong sementara pengamat dan peneliti mengambil kesimpulan, bahwa pedoman teologi ini bertanggung jawab atas keterbelakangan sosial-ekonomi kaum muslim di Indonesia. Aliran Asy’ariyah yang bersifat Jabariyah (predestinasi) dipandang telah melemahkan etos sosial-ekonomi umat Islam, sehingga mereka lebih cenderung menyerah kepada takdir daripada melaksanakan usaha-perjuangan inovatif untuk memperbaiki dan meningkatkan diri dan penduduk mereka. Dalam sisi-sisi tertentu argumen bahwa paham teologi semacam Asy’ariyah tidak mendorong terjadinya dinamika dalam penduduk Islam belum tentu sepenuhnya benar. Secara teoritis, asumsi atau argumen itu mungkin benar. Namun, pada tingkat simpel dan empiris, boleh jadi terdapat realita lain yang berlawanan dengan perkiraan teoritis tersebut.22

Islam Sebagai Sumber Kepercayaan

Islam selaku sumber iman bagi manusia tidak disangsikan lagi eksistensinya selaku sebuah sumber akidah dan mengandung nilai-nilai. Di samping berdimensi berpikir, maka insan juga berdimensi yakin. Kepercayaan yakni : (1) pikiran dan perilaku bahwa sesuatu itu benar, (2) sesuatu yang diakui selaku benar.23 Kita tidak dapat membayangkan manusia dapat hidup tanpa dogma apapun. Kepercayaan terhadap sesuatu zat atau kekuatan dan memeluk akidah itu ialah sesuatu yang alami pada insan dan merupakan keperluan jiwa yang selalu membayangi manusia sepanjang hidupnya. Karena itu keperluan itu mesti dipenuhi, mirip kebutuhan-kebutuhan jiwa yang alamiyah yang lain.

Manusia yang ialah salah satu atom yang mengisi dunia ini dengan kemampuan dirinya semata-mata tidak mungkin mengenali alasannya adalah eksistensi dan tujuan hidupnya serta apa yang baik bagi dirinya. Karena itu Allah tidak membiarkannya tersia-sia, melainkan Ia membekalinya dengan logika yang menawarkan jalan kebaikan.24 Al Qur’an pada pokoknya merupakan agama dan adab yang menitikberatkan pada tujuan simpel penciptaan kebaikan susila dan membangun penduduk insan yang benar dan beragama dengan kesadaran ber-Tuhan secara tegas dan bersemangat, yang menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat dosa.25

Islam sebagai sumber kepercayaan memiliki karakteristik yang membuatnya menjadi risalah Tuhan yang terakhir dan menjadi agama yang diridhai Allah untuk dunia dan seluruh ummat manusia hingga hadirnya hari Kiamat, dan membedakannya dengan agama-agama lain. Secara ringkas karakteristik yang dimiliki Islam, yakni mengajarkan kesatuan agama, kesatuan politik, kesatuan sosial, agama yang tepat dengan akal fikiran, agama fitrah dan kejelasan, agama kebebasan dan persamaan, dan agama kemanusiaan.26

Dalam Islam doktrin disebut dengan ungkapan keimanan yang mampu bertambah atau berkurang. Seseorang yang tidak beriman dianggap telah kafir karena ia telah melakukan dosa besar. Beberapa pemikiran teologi berlainan-beda dalam mengetahui desain keyakinan. Ada yang mengandung komponen tashdiq saja ialah meyakini akan adanya Allah, dianut oleh mazhab Murji’ah dan sebagian kecil Asy’ariah. Ada yang mengandung unsur tashdiq dan ikrar yakni mengucapkan apa yang diyakininya itu dengan lidah, dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah. Ada yang menambahnya dengan unsur amaliyah yaitu akidah yang telah ditashdiqkan dengan hati, diikrarkan dengan verbal kemudian dibuktikan dengan perbuatan, dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij dan lain-lain.27

Aliran Utama dan Pendekatannya

Dalam Islam dilema yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi, namun masalah politik ini secepatnya meningkat menjadi duduk perkara teologi. Persoalan orang berbuat dosa mempunyai efek besar dalam pertumbuhan teologi Islam. Persoalan ini menjadikan lima fatwa utama:28 Pertama fatwa Khawarij yang menyampaikan bahwa orang berdosa besar yaitu kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh alasannya adalah itu wajib dibunuh.

Aliran ke dua ialah ajaran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah terhadap Allah swt untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.

Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ke tiga tidak menerima pendapat-usulan di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir namun bukan pula mukmin. Orang yang sama ini menurut mereka mengambil posisi di antara dua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arabnya populer dengan istilah al manzilah bain al manzilatain (posisi di antara dua posisi). Kelompok netral politik yang berjulukan Mu’tazilah ini beropini bahwasannya pelaku dosa besar bukanlah sebagai muslim sekaligus juga bukan selaku kafir, melainkan mereka berada di antara keduanya dan mereka tetap ialah bab dari komunitas Muslim.29 Mu’tazilah dipandang selaku fatwa pertama dalam konteks teologi yang sebetulnya, lebih lanjut alasannya pedoman ini berusaha menerapkan rasio kepada segala problem dan lantaran mereka memakai argumen, rasio dan dialektik. Dengan menggunakan sistem tertentu, mereka menyelenggarakan generalisasi seluruh jawaban yang dipegangi selaku iman. Sekalipun sekilas solusi Mu’tazilah ini dalam beberapa cara berbeda dengan ortodoks, namun fatwa ini tidak tampil selaku yang mencerminkan pemahaman yang memadai terhadap realitas spiritual, dan aliran ini mendorong keteguhan kepada objek-objek kajian dari golongan pemikir-pemikir keIslaman. Sekitar abad ke 4 H/10 M Mu’tazilah mencapai banyak kemajuan.30

Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua fatwa dalam teologi yang terkenal dengan nama al qadariah dan al jabariah. Menurut Qadariah insan memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah Inggerisnya free will dan free act. Jabariah, sebaliknya berpendapat bahwa insan tidak memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya, menurut faham Jabariah bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham itulah yang disebut paham predestination atau fatalism.31 Perbuatan-tindakan insan telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadhar Tuhan.

Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku falsafat dan ilmu wawasan Yunani ke dalam bahasa Arab, terpengaruh oleh pemakaian rasio atau nalar yang memiliki kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik itu. Pemakaian dan iktikad pada rasio ini dibawa oleh kaum Mu’tazilah ke dalam lapangan teologi Islam dan dengan demikian teologi mereka mengambil corak teologi liberal, dalam arti bahwa sungguhpun kaum Mu’tazilah banyak memanfaatkan rasio, mereka tidak meninggalkan wahyu. Dalam fatwa-anutan mereka selamanya terikat kepada wahyu yang ada dalam Islam. Sudah barang pasti bahwa dalam soal Qadariah dan Jabariah di atas, selaku kelompok yang yakin pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir, kaum Mu’tazilah mengambil faham Qadariah.

Di Indonesia ajaran Mu’tazilah belum begitu diketahui dan tidak diminati karena dianggap memiliki pertimbangan -pertimbangan yang menyimpang dari anutan-aliran Islam yang bahu-membahu. Pemuka-pemuka Mu’tazilah dalam ajaran keagamaan mereka banyak mempergunakan rasio. Mereka memang yakin pada kekuatan logika yang dianugerahkan Tuhan terhadap manusia. Dalam penafsiran ayat-ayat teologi mereka banyak memakai pedoman rasional. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul asumsi di kalangan sebagian umat Islam bahwa mereka lebih mengutamakan rasional daripada wahyu. Anggapan ini berikutnya membawa tuduhan bahwa kaum Mu’tazilah ialah golongan Islam yang kesasar dan tergelincir dari jalan yang lurus dan benar. Bahkan tidak sedikit orang Islam yang menilai mereka tidak percaya terhadap wahyu dan dengan demikian sudah menjadi kafir dan bukan Islam lagi.32

Perlawanan ini lalu mengambil bentuk fatwa teologi tradisionil yang disusun oleh Abu al Hasan al Asy’ari (935 M). Al Asy’ari sendiri pada awalnya yakni seorang Mu’tazilah tetapi lalu berdasarkan riwayatnya sesudah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad selaku ajaran-fatwa yang sesat, al Asy’ari meninggalkan anutan-aliran itu dan membentuk pedoman-anutan baru yang lalu populer dengan nama teologi al Asy’ariah atau al Asya’irah. Menurut sebuah riwayat, dikala Al Asy’ari mencapai usia 40 tahun, beliau mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, dimana kemudian dia pergi ke mesjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa dia mula-mula memeluk paham pemikiran Mu’tazilah, antara lain: Qur’an itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang membuat pekerjaan-pekerjaan dan kejelekan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut: “Saya tidak lagi mengikuti paham-paham tersebut dan aku mesti memberikan keburukan-kejelekan dan kelemahan-kelemahannya.”33 Al Asy’ari meninggalkan aliran Mu’tazilah selain alasannya merasa tidak puas kepada konsepsi aliran tersebut, juga alasannya ia melihat ada perpecahan di kalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka jika tidak secepatnya diakhiri.

Di samping fatwa Asy’ariah muncul pula di Samarkand suatu pedoman yang berencana juga menentang pedoman Mu’tazilah dan diresmikan oleh Abu Mansur Muhammad al Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian populer dengan nama teologi Maturidiah tidaklah bersifat se-tradisionil aliran Asy’ariah, akan tetapi tidak pula se-liberal fatwa Mu’tazilah. Sebenarnya anutan ini terbagi dua: cabang Samarkand yang bersifat agak liberal dan cabang Bukhara yang bersifat tradisionil. Selain dari Abu al Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi ada lagi seorang teolog dari Mesir yang juga berniat untuk menentang anutan-aliran kaum Mu’tazilah. Teolog itu berjulukan al Tahawi (w. 933 M) dan sebagaimana halnya dengan al Maturidi beliau juga pengikut dari Abu Hanifah, Imam dari mazhab Hanafi dalam lapangan aturan Islam. Tetapi ajaran-pemikiran al Tahawi tidak menjelma selaku aliran teologi dalam Islam.

Dengan demikian ajaran-ajaran teologi penting yang timbul dalam Islam yakni pedoman Khawarij, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran-ajaran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada hingga sekarang adalah aliran-anutan Asy’ariyah dan Maturidiah dan keduanya disebut ahl Sunnah wa al Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedang anutan Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali faham rasionalisme ke dunia Islam, yang jikalau dulu itu masuknya lewat kebudayaan Yunani Klasik akan namun kini melalui kebudayaan Barat terbaru, maka ajaran-fatwa Mu’tazilah mulai muncul kembali, utamanya sekali di kalangan kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam goresan pena-tulisan Islam.34

Dalam hal memberikan penjelasan terhadap pendekatan wacana teologi Islam, penulis belum mendapatkan buku tumpuan yang konkrit tentang hal tersebut. Tetapi mendekatkan kita kepadanya mungkin penulis mampu menggambarkan maupun menunjukan pendekatan yang ada pada literatur lain. Untuk mengetahui maupun meneliti teologi Islam diharapkan beberapa pendekatan di antaranya: pendekatan historis; sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai kejadian dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku dari insiden tersebut.35 Dengan mengerti teologi dari pendekatan sejarah seseorang akan melihat alasannya adalah-alasannya adalah timbulnya pemikiran-anutan teologi dalam Islam yang berawal dari problem politik dan bukan masalah agama. Selanjutnya pendekatan bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi), untuk mengerti ungkapan-perumpamaan yang berhubungan dengan kajian teologi Islam. Seperti ungkapan Khawarij dan Mu’tazilah dengan pendekatan bahasa dan perumpamaan kita akan mengenali makna dari Khawarij dan Mu’tazilah tersebut dan perumpamaan-istilah yang lain. Kemudian pendekatan studi tokoh, tujuannya mempelajari kronologis tokoh-tokoh pemikiran teologi dalam Islam, hal-hal yang menghipnotis fatwa mereka dan pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh setelahnya. Yang tidak kalah pentingnya yaitu pendekatan komparatif, hadirnya fatwa-aliran tersebut salah satunya karena adanya rancangan aliran yang berlainan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya sehingga menyebabkan rancangan ajaran dan pedoman baru. Contohnya desain anutan Khawarij tentang pelaku dosa besar ialah kafir mengakibatkan desain anutan gres bahwa pelaku dosa besar bukan kafir namun tetap mukmin yang dianut oleh pemikiran Murji’ah.

Tokoh dan Karya Utama

a. Aliran Khawarij

Aliran ini lahir serentak dengan lahirnya Syi’ah adalah pada periode Ali bin Abi Thalib r.a. Orang-orang Khawarij dulunya yaitu penunjang Ali, meskipun demikian Syi’ah tiba lebih dulu dari pemikiran Khawarij.36 Timbulnya ajaran ini yakni akhir dari kejadian tahkim (arbitrase), Khawarij menghukum para penerima tahkim sebagai orang-orang yang telah menjadi kafir. Di antara tokoh-tokoh Khawarij yang terpenting adalah; Abdullah bin Wahab al Rasyidi, pimpinan rombongan di saat mereka berkumpul di Harura (pemimpin Khawarij pertama), Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa’ad, Hausarah al Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi’ bin al Azraq (pemimpin al Azariqah), Abdullah bin Basyir, Zubair bin Ali, Qathari bin Fujaah, Abd al Rabih, Abd al Karim bin Ajrad, Ziad bin Asfar dan Abdullah bin Ibad. Tokoh-tokoh tersebut masing-masing memimpin sekte-sekte dalam pemikiran Khawarij. Sekte-sekte tersebut di antaranya ialah Muhakkimah, Azariqah, Najdat, Bahaisiyah, Ajaridah, Tsalabah, Ibadhiyah, dan sufriyah.37

Secara lazim anutan-fatwa pokok Khawarij adalah: orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir; orang-orang yang terlibat pada perang Jamal (perang antara Aisyah, Thalhah dan Zubair dengan Ali bin Abi Thalib) dan para pelaku tahkim (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumkan kafir; dan khalifah harus diseleksi pribadi oleh rakyat.

b. Aliran Murji’ah

Pemimpin utama mazhab Murji’ah adalah Hasan bin Bilal al Muzni, Abu Sallat al Samman, dan Dirar bin Umar. Untuk mendukung usaha Murji’ah dalam menyebarkan pendapatnya pada zaman bani Umayyah timbul sebuah syair populer perihal i’tikad dan iman Murji’ah yang digubah oleh Tsabiti Quthnah.38 Tokoh Murji’ah yang moderat antara lain adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah Jaham bin Shafwan. Ajaran-ajaran pokok Murji’ah mampu disimpulkan sebagai berikut: iman cuma membenarkan (akreditasi) di dalam hati; orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir, muslim tersebut tetap mukmin selama dia mengakui dua kalimah syahadat; dan hukum kepada tindakan insan ditangguhkan hingga hari kiamat.

c. Aliran Mu’tazilah

Tokoh anutan Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai anggapan dan anutan-fatwa sendiri yang berlawanan dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh memiliki pedoman sendiri. Dari segi geografis, anutan Mu’tazilah dibagi menjadi dua ialah ajaran Mu’tazilah Basrah dan anutan Mu’tazilah Bagdad. Tokoh-tokoh fatwa Basrah antara lain39 Wasil bin ‘Ata (80-131 H/699-748 M), al ‘Allaf (135-226 H/752-840 M), an Nazzham (wafat 231 H/845 M), dan al Jubbai (wafat 303 H/915 M). tokoh-tokoh fatwa Bagdad antara lain Bisyr bin al Mu’tamir (wafat 226 H/840 M), al Khayyat (wafat 300 H/912 M). Kemudian pada masa selanjutnya lagi yakni al Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M di Ray) dan az Zamachsyari (467-538 H/1075-1144 M). Ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah bangun atas lima prinsip utama yang diurutkan berdasarkan kedudukan dan kepentingannya, adalah: keesaan (at tauhid), keadilan (al ‘adlu), kesepakatan dan ancaman (al wa’du wal wa’idu), daerah di antara dua kawasan (al manzilatu bainal al manzilataini), memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).40

d. Aliran Asy’ariah

Suatu bagian utama bagi perkembangan ajaran Asy’ariah, yakni alasannya ajaran ini memiliki tokoh-tokoh kenamaan yang mengkonstruksikan ajarannya atas dasar filsafat metafisika. Tokoh-tokoh tersebut antara lain; al Baqillani (wafat 403 H), Ibnu Faurak (wafat 406 H), Ibnu Ishak al Isfaraini (wafat 418 H), Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H), Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H), Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H), al Ghazali (wafat 505 H), Ibnu Tumart (wafat 524 H), as Syihristani (wafat 548 H), ar Razi (1149-1209 M), al Iji (wafat 756 H/1359 M), dan as Sanusi (wafat 895 H).41 Al Asy’ari banyak meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih 90 buah dalam banyak sekali lapangan ilmu keIslaman. Karangan-karangannya yang populer dan sampai kepada kita ada tiga yaitu; Mawalatul Islamiyyin: kitab ini ditulis al Asy’ari sebelum ia keluar dari Mu’tazilah, di dalamnya berisi paham aneka macam kelompok kaum muslimin dan aneka macam persoalan teologi, al Ibanah ‘an Usulid Diyanah: kitab ini berisi pokok-pokok fikiran iktikad Ahlussunnah waljamaah, dan al Luma’ fi al Radd ‘ala Ahl al Ziyaq wa al Bida’: kitab ini juga berisi persepsi dan pemikiran al Asy’ari perihal ilmu kalam dan jawaban serta sorotan kepada bantahan pihak musuh.42

Pokok-pokok anggapan al Asy’ari yang paling penting antara lain ialah: Tuhan memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam al Qur’an, al Qur’an ialah qadim bukan makhluk (diciptakan). Tuhan mampu dilihat dengan mata kepala di alam baka kelak. Perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Antropomorphisme; Tuhan bertahta di ‘Arsy, mempunyai tampang, tangan, mata dan sebagainya namun bentuknya tidak sama dengan makhluk. Keadilan Tuhan; Tuhan tidak wajib memasukkan orang baik ke nirwana dan memasukkan orang jahat ke neraka. Muslim yang melakukan dosa besar dan meninggal dunia sebelum sempat bertobat tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula berada di antara mukmin dan kafir sebagaimana usulan Mu’tazilah.43

e. Aliran Maturidiah

Pengikut dan tokoh besar Maturidiah yaitu Abu al Jasr Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al Bazdawi (421-493 H). Tokoh ini banyak berjasa dalam pertumbuhan anutan al Maturidiah. Al Bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka yaitu Najm al Din Muhammad al Nasafi (460-537 H), pengarang buku al ‘Aqa’id al Nasafiah. Literatur tentang pedoman-pedoman Abu Mansur dan pedoman Maturidiah tidak sebanyak literatur perihal fatwa-ajaran Asy’ariah. Buku-buku yang banyak membahas soal sekte-sekte mirip buku-buku al Syahrastani, Ibn Hazm, al Bagdadi dan lain-lain tidak menampung keterangan-keterangan ihwal al Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Seterusnya ada pula karangan-karangan perihal pertimbangan -pertimbangan al Maturidi yakni Risalah Fi al ‘Aqa’id dan Syarh al Fiqh al Akbar. Keterangan-keterangan mengenai pendapat-pendapat al Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya seperti Isyarat al maram oleh al Bayadi dan Usul al Din oleh al Bazdawi.44 Karena usulan al Bazdawi tidak sama dengan fatwa al Maturidi maka anutan Maturidiah dibagi menjadi dua bentuk: Maturidiah Samarkand yakni pengikut al Maturidi sendiri, dan Maturidiah Bukhara adalah pengikut-pengikut al Bazdawi. Kalau kalangan Samarkand mempunyai faham-faham yang lebih akrab kepada faham Mu’tazilah dan dikategorikan bahkan tokoh utama Ahlussunnah waljamaah, kalangan Bukhara mempunyai pendapat-usulan yang lebih bersahabat terhadap usulan-pertimbangan al Asy’ari.

Di antara pemikiran al Maturidi yang penting yaitu:45 Tuhan mempunyai sifat-sifat; pendapat ini sejalan dengan pendapat al Asy’ari; dalam hal ini al Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Al Qur’an adalah kalam Allah yang qadim bukan diciptakan sebagaimana paham Mu’tazilah; untuk ini al Maturidi sepaham dengan al Asy’ari. Tuhan mempunyai kewajiban-keharusan tertentu; usulan ini sejalan dengan Mu’tazilah. Ia beropini seperti usulan al Asy’ari bahwa muslim yang melakukan dosa besar tidak mukmin, tidak kafir dan tidak pula berada di antara dua daerah. Tuhan tidak akan mungkir kepada janjinya, usulan ini sejalan dengan Mu’tazilah. Antropomorphisme, al Maturidi berpendapat ayat-ayat al Qur’an yang menggambarkan seolah Tuhan memiliki bentuk jasmani seperti insan mesti ditakwil diberi arti majazi, bukan diartikan secara harfiah. Pendapat ini juga sejalan dengan Mu’tazilah dan bertolak belakang dengan al Asy’ari.



Kesimpulan

Teologi (Theos/Tuhan+Logos/Ilmu) merupakan rangkaian ilmu ihwal Tuhan atau keTuhanan. Istilah teologi lebih sering dipakai oleh penulis-penulis barat, oleh penulis-penulis Islam sendiri teologi mempunyai kesamaan dengan ilmu Kalam. Beberapa ungkapan yang memiliki keterkaitan dengan teologi/ilmu kalam di antaranya adalah ungkapan tawhid, kalam dan ushul al din. Awal mula lahirnya ilmu kalam menumbuhkan beberapa fatwa teologi sebagai akibat dari masalah politik yang muncul pada ketika pengangkatan Ali bin Abi Thalib mengambil alih Usman bin Affan selaku khalifah. Pada perkembangannya anutan-fatwa teologi tersebut cuma beberapa yang bertahan hingga kini seiring dengan pertumbuhan pemikirannya masing-masing.

Islam sebagai sumber kepercayaan menunjukkan keleluasaan kepada nalar untuk mengetahui ajaran-anutan Islam. Aliran-ajaran teologi Islam juga menggunakan kekuatan nalar untuk memahami pedoman Islam. Aliran-aliran utama dalam teologi Islam di antaranya ialah anutan Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah yang masing-masing memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan terhadap ajaran-pemikiran paham mereka. Beberapa pendekatan untuk meneliti anutan-pemikiran teologi ini di antaranya adalah pendekatan historis (sejarah), pendekatan bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi), pendekatan studi tokoh, dan pendekatan komparatif.

Tokoh-tokoh dalam ajaran teologi tersebut meskipun berada dalam satu fatwa tetap saja berbeda dalam pokok-pokok ajarannya yang hasilnya menimbulkan perpecahan. Seperti ajaran Maturidiah terpecah menjadi Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Beberapa tokoh sudah menciptakan beberapa karya yang ditulis dalam suatu kitab biar pemikirannya maupun ajaran-ajarannya mampu terus dikembangkan oleh tokoh-tokoh sesudah mereka.

Daftar Kepustakaan
  • A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980
  • ------------, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1977
  • Abdul Halim, Teologi Islam Rasional; Apresiasi kepada perihal dan Mudah Harun Nasution, Jakarta: Ciputat Pers, 2001
  • Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998
  • Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah fi al Siyasah wa al Aqa’id, Sejarah Aliran-pemikiran dalam Islam; Bidang Politik dan Aqidah, alih bahasa: Drs. Shobahussurur. Gontor, Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1991
  • Al-Syahrastani, Al Milal wa al Nihal, Mesir: Musthafa al Baby al Halaby, 1967
  • Ahmad Amin, Dhuha al Islam, Mesir: al Nahdhah al Mishriyyah, 1936
  • Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999
  • Cyril Glasse, The Concise Ensyclopedia of Islam (Ensiklopedi Islam Ringkas), Terjemahan Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
  • Dawam Rahardjo, Umat Islam dan Pembaharuan Teologi; dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1985
  • Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1992
  • Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang Fundamentalisme Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
  • --------------------, Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
  • Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-anutan Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1983
  • -----------------, et.al., Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992
  • ------------------- Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,Jakarta: UI-Press, 1985
  • Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam; bag. Kesatu&dua, Terjemahan: Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
  • Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
  • Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta: Rajawali Pers, 1993
  • Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
  • Muhammad Yusuf Musa, Islam; Suatu Kajian Komprehensif, Jakarta: Rajawali Pers, 1988
  • Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
  • Saiful Muzani, Islam Rasional; Sejarah dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
  • Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern Yogyakarta: LESFI, 2002
  • Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994
  • Taufik Abdullah….(et.al)., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
  • ---------------------, Sejarah dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka firdaus, 1987

Footnote
-----------

1 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980), h. 11.
2 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-pemikiran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1983), h. ix.
3 Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 23.
4 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. xii.
5 Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, h. 24.
6 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h. 12.
7 Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Jakarta: Bulan bintang, 1992), h. 1-2.
8 A. Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 10-12.
9 Ibid, h. 5.
10 Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 6.
11 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-pemikiran Sejarah Analisa Perbandingan, h. ix.
12 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), h. xv.
13 Abdul Halim, Teologi Islam Rasional; Apresiasi terhadap ihwal dan Praktis Harun Nasution, (Jakarta: Ciputat Pers, 2001), h. 121. Lihat juga: Harun Nasution. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, II, h. 31.
14 Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 4.
15 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. xvi.
16 Harun Nasution, et.al., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 746-7.
17 Taufik Abdullah….(et.al)., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 236&238.
18 Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 112.
19 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi perihal Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 69.
20 Dawam Rahardjo, Umat Islam dan Pembaharuan Teologi; dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia, (Jakarta: LEPPENAS, 1985), cet. I. h. 119.
21 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 189-190.
22 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 45&46.
23 Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h. 23.
24 Muhammad Yusuf Musa, Islam; Suatu Kajian Komprehensif, (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), h. 8.
25 Fazlur Rachman, Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 133.
26 Muhammad Yusuf Musa, Islam; Suatu Kajian Komprehensif, h. 14.
27 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. 157.
28 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-pemikiran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 7-8.
29 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam; bag. Kesatu&dua, Terjemahan: Ghufron A. Mas’adi. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 159.
30 Cyril Glasse, The Concise Ensyclopedia of Islam (Ensiklopedi Islam Ringkas), Terjemahan Ghufron A. Mas’adi. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 202.
31 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-pedoman Sejarah Analisa Perbandingan, h. 9.
32 Saiful Muzani, Islam Rasional; Sejarah dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), h. 129.
33 A. Hanafi, Pengantar Thaology Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980), h. 104.
34 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-pemikiran Sejarah Analisa Perbandingan, Ibid, h. 10.
35 Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka firdaus, 1987), h. 105.
36 Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah fi al Siyasah wa al Aqa’id, Sejarah Aliran-pedoman dalam Islam; Bidang Politik dan Aqidah, alih bahasa: Drs. Shobahussurur. (Gontor, Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1991), h. 75.
37 Al-Syahrastani, Al Milal wa al Nihal, (Mesir: Musthafa al Baby al Halaby, 1967), h. 74.
38 Ahmad Amin, Dhuha al Islam, (Mesir: al Nahdhah al Mishriyyah, 1936), h. 328.
39 A. Hanafi, Pengantar Thaology Islam, h. 70.
40 Ibid, h. 75.
41 Ibid, h. 110.
42 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. 122-123.
43 Ibid.
44 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-pedoman Sejarah Analisa Perbandingan, h. 76.
45 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. 128-129.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)