DESAIN PEMBELAJARAN
APLIKASI TEORI BELAJAR KONEKSIONISME THORNDIKE
A. Pengertian Desain Pembelajaran
Menurut Reigulth (1983)
Bagi Reigulth, rancangan pembelajaran yakni kisi-kisi dari penerapan teori mencar ilmu dan pembelajaran untuk memfasilitasi proses berguru seseorang.[1] Reigulth membedakan desain pembelajran dengan pengembangan. Ia menyatakan bahwa pengembangan yakni penerapan kisi-kisi desain di lapangan. Kemudian sesudah uji coba final, maka rancangan tersebut di perbaiki atau diperbarui sesuai dengan masukan yang telah diperoleh. Reigulth menngkaji desain dan pengembangan pembelajaran menurut tinjauan atas teori belajar dan pembelajaran.
Menurut Rothwell Dan Kazanas (1992)
Rothwell dan Kazanas merumuskan rancangan pembelajaran terkait dengan kenaikan kualitas kinerja seseorang dan pengaruhnya bagi organisasi. Bagi mereka, kenaikan kinerja memiliki arti kenaikan kinerja organisasi. Desain pembelajaran melaksanakan hal tersebut melalui suatu versi kinerja insan. Rumusan Rothwell dan Kanazas ini berguna jikalau desain pembelajaran diterapkan pada suatu sentra training di organisasi tertentu.[2]
Menurut Gagne, Briggs, Dan Wager (1992)
Gagne, dkk. Mengembangkan konsep desain pembelajaran dengan menyatakan bahwa desain pemebelajaran membantu proses berguru seseorang, dimana proses belajar terjadi karena adanya kondisi-keadaan belajar internal maupun eksternal. Kondisi internal yaitu kemampuan dan kesiapan diri pebelajar, sedang keadaan eksternal yaitu pengaturan lingkungan yang didesain. Penyiapan kondisi eksternal belajar inilah yang disebut mereka sebagai rancangan pembelajaran. Untuk itu, rancangan pembelajaran haruslah sistematis dan menerapkan desain pendekatan system biar berhasil meningkatkan kualitas kinerja seseorang. Mereka percaya bahwa proses berguru yang terjadi secara internal, dapat ditumbuhkan, diperkaya jikalau aspek eksternal, adalah pembelajaran dapat didesain dengan efektif. [3]
Menurut Dick Dan Carey
Pakar-pakar teknologi pendidikan tersebut menegaskan penggunaan rancangan pendekatan system selaku landasan fatwa suatu desain pembelajaran . Umumnya pendekatan system terdiri atas analisis, rancangan, pengembagan, implementasi, dan penilaian.[4] Desain pembelajaran mencakup seluruh proses yang dikerjakan pada pendekatan system. Teori berguru, teori penilaian dan teori pembelajaran merupakan teori-teori yang melandasi rancangan pembelajaran.
B. Komponen Dasar Desain Pembelajaran
Komponen dasar rancangan pembelajaran yakni: [5]
1. Pebelajar
Pebelajar adalah pihak yang menjadi fokus suatu rancangan pembelajaran. Informasi yang paling dibutuhkan untuk dilacak adalah karakteristik mereka, kemampuan awal atau prasyarat. Seluruh faktor yang berengaruh kepada kesuksesan proses belajar mesti dipertimbangkan dan dirumuskan pemecahan masalahnya.
2. Tujuan Pembelajaran (Umum dan Khusus)
Rumusan tujuan pembelajaran merupakan pembagian terstruktur mengenai kompetensi yang hendak dikuasai oleh pebelajar bila mereka sudah simpulan dan sukses menguasai bahan latih tertentu. Tujuan pembelajaran dalam lingkup besar dianggap selaku tujuan lazim, sedangkan tujuan yang dicapai untuk keahlian khusus yang dapat diamati disebut tujuan khusus. Tujuan pembelajaran khusus kadang kala disebut sebagai tujuan khusus. Tujuan pembelajaran khusus acapakali disebut sebagai tujuan khusus kinerja atau dengan istilah aslinya performance objectives.
3. Analisis Pembelajaran
Analisis pembelajaran ialah proses menganalisis topik atau bahan yang hendak dipelajari. Analisis topik dikaitkan dengan kesanggupan awal, jikalau diharapkan. Dengan demikian, desainer dapat memperkirakan tahapan penguasaan materi dan kategorisasi materi itu sendiri. Analisis pembelajaran dijalankan agar hambatan mencar ilmu seperti tingkat kesulitan atau perilaku permulaan yang belum dikuasai mampu ditelusuri dan diantisipasi.
4. Strategi Pembelajaran.
Strategi pembelajaran yakni upaya yang dikerjakan oleh perancang dalam menentukan teknik penyampaian pesan, penentuan sistem dan media, alur isi pelajaran, serta interaksi antara pengajar dan penerima bimbing. Strategi pembelajaran dapat dikembangkan secara makro dan mikro. Strategi pembelajaran makro yaitu strategi pembelajaran yang dipraktekkan untuk kala waktu satu tahun, atau satu semester. Sedangkan seni manajemen pembelajaran mikro dikembangkan untuk satu KBM. Sedangkan seni manajemen pembelajran dilakukan lewat:
· Pemanfaatan media.
· Pemilihan metode.
· Alokasi waktu.
· Alokasi nara sumber
Dapat juga ditambahlan selain emapat hal di atas yang berkaitan dengan fasilitas dan biaya yang tersedia.
5. Bahan Ajar
Bahan latih dalam desain pembelajaran ialah satu-satunya yang berwujud (tabgible) dari seluruh bagian dasar rancangan pembelajaran. Bahan asuh adalah format materi yang diberikan terhadap pebelajar. Format tersebut dapat dikaitkan dengan media tertentu. Handouts, atau buku teks, permainan dan sebagainya.
6. Penilaian berguru (penilaian)
Penilaian berguru adalah perihal pengukuran kemampuan atau kompetensi yang telah dikuasai atau belum. Penilain tidak cuma berkaitan dengan angka tertentu selaku hasil belajar yang memperlihatkan prestasi pebelajar. Penilaian yakni masukan bagi desainer dan guru biar mereka tahu apa yang harus dikerjakan. Penilaian yang dilaksanakan sering dalam bentuk asesmen tes, baik yang bersifat objektif atau subjektif. Sekolah di Indonesia jarang sekali menggunakan penilaian mencar ilmu nontes, seperti observasi atau survey. Padahal kedua jenis penilaian beljar saling mendukung satu sama lain dari hasil perolehan informasi kesuksesan mencar ilmu seseorang..
Kelemahan dari teori Thorndike yaitu:
a) Terlalu menatap insan selaku prosedur dan otomatisme belaka disamakan dengan binatang. Meskipun cuma tingkah laku insan yang otomatis, namun tidak senantiasa tingkah laku insan itu mampu dipengaruhi secara trial and eror. Trial end eror juga tidak berlaku bagi insan.
b) Memandang mencar ilmu hanya ialah perkumpulan belaka antara stimulus dan respons. Sehingga yang dipentingkan dalam mencar ilmu adalah memperkuat perkumpulan tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan yang terus-menerus.
c) Karena proses mencar ilmu berjalan secara mekanistik, maka “pengertian” tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam mencar ilmu. Mereka mengabaikan “pengertian” sebagai unsur yang pokok dalam mencar ilmu.
d) Pelajaran bersifat teacher-centered. Yang terutama aktif yaitu guru. Dialah yang melatih belum dewasa dan menentukan apa yang harus diketahui oleh bawah umur.
e) Anak-anak pasif artinya kurang didorong untuk aktif berpikir, tak turut memilih bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya.[6]
Kelebihan dari teori Thorndike ialah:
a) Memberi peluang siswa untuk menjajal sesuatu tersebut
b) Bila siswa belajar baik segera diberi hadiah, bila siswa berbuat salah haruslah di tegur/diperbaiki.
Adapun beberapa hal yang harus diamati dalam pembelajaran PAI
Pada dikala menerapkan pendekatan koneksionisme perlu diperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran. Oleh alasannya adalah itu, dalam berbagi acara pembelajaran guru harus memperhatikan beberapa prinsip aktivitas pembelajaran[7], sebagai berikut:
Berpusat pada siswa:
Setiap siswa pada dasarnya berbeda, dan telahada dalam dirinya minat (interest), kesanggupan (ability), kesenangan (preference), pengalaman (experience), dan cara mencar ilmu (learning style) yang berlainan antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Begitu juga kemampuan siswa dalam berguru, siswa tertentu lebih mudah belajar dengan menyimak dan membaca, siswa lain dengan cara menulis dan membuat ringkasan, siswa lain dengan menyaksikan, dan yang lain dengan cara melaksanakan mencar ilmu secara pribadi. Oleh alasannya adalah itu guru harus mengorganisasikan acara pembelajaran, kelas, bahan pembelajaran, waktu belajar, alat mencar ilmu, media dan sumber mencar ilmu dan cara evaluasi yang di sesuaikan dengan karakteristik individual siswa. Karenanya acara belajar yang dikembangkan oleh guru harus mendorong siswa agar mampu mengembangkan potensi, talenta serta minat yang dimilikinya secara maksimal dan maksimal.
Pembalikan makna berguru:
Dalam desain tradisional berguru hanya diartikan penerimaan isu oleh akseptor bimbing dari sumber belajar dalam hal ini guru. Akibatnya pembelajaran sering diartikan merupakan transfer of knowledge. Dalam kurikulum bebasis kompetensi makna belajar tersebut mesti dibalik dimana belajar diartikan merupakan proses kegiatan dan acara siswa dalam membangun pengetahuan dan pengertian terhadap gosip dan atau pengalaman. Dan pada dasarnya proses membangun pengetahuan dan pemahaman dapat dijalankan sendiri oleh siswa dengan persepsi, anggapan (entering behavior) serta perasaan siswa. Konsekuensi logis pembalikan makna mencar ilmu dalam acara pembelajaran menginginkan partisipasi guru dalam bentuk bertanya, meminta kejelasan, dan jika diharapkan menyuguhkan situasi yang bertentangan dengan pengertian siswa dengan impian siswa tertantang untuk memperbaiki sendiri pemahamannya. Konsekuensi lain dari pembalikan makna mencar ilmu ini, guru lebih banyak berperan membimbing siswa dalam mencar ilmu serta menempatkan diri sebagai fasilitator pembelajaran dengan menempatkan siswa yang mesti bertanggung jawab dalam membangun pengetahuannya sendiri.
Belajar dengan melakukan:
Pada hakikatnya dalam kegiatan berguru siswa melakukan acara-kegiatan. Aktivitas siswa akan sangat ideal jikalau dilakukan dengan kegiatan positif yang melibatkan dirinya, utamanya untuk mencari dan mendapatkan serta mempraktekkannya sendiri. Dengan cara ini siswa tidak akan mudah melewatkan apa yang diperolehnya dengan cara mencari dan memperoleh serta mempraktekkan sendiri akan tertanam dalam hati sanubari dan pikirannya siswa alasannya beliau belajar secara aktif dengan cara melakukan. Dalam pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, bahan sholat dan praktek ibadah yang lainnya akan efektif dan berkesan bagi siswa kalau dipraktekkan secara langsung dibandingkan dengan dengan mewajibkan siswa untuk menghafal tatacara sholat atau ibadah yang yang lain. Siswa sebaiknya dihadapkan pada situasi positif yang sesungguhnya, kalau tidak mungkin dibentuk situasi bikinan dan kalau tidak memungkinkan dapat dikerjakan dengan audio-visual (dengar-pandang) dengan menggunakan film strif atau video casset atau CD.
Mengembangkan kesanggupan sosial, kognitif, dan emosional:
Dalam acara pembelajaran siswa harus dikondisikan dalam situasi interaksi dengan orang lain seperti antarsiswa, antara siswa dengan guru, dan siswa dengan penduduk . Dengan interaksi yang intensif siswa akan mudah untuk membangun pemahamannya. Guru dituntut untuk dapat menentukan banyak sekali taktik pembelajaran yang membuat siswa melakukan interaksi dengan orang lain, contohnya dengan diskusi, sosiodrama, mencar ilmu secara kelompok dan sebagainya. Kegiatan pembelajaran yang dikembangkan guru harus mendorong terjadinya proses sosialisasi pada diri siswa mesingmasing, dimana siswa mencar ilmu saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan-perbedaan (pertimbangan , sikap, kesanggupan maupun prestasi). Pembelajaran juga dikembangkan agar siswa mampu bekerjasama serta mampu membuatkan empati sehingga siswa terdorong untuk saling membangun pengertian yang diselaraskan dengan wawasan dan tindakannya.
Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah bertuhan:
Siswa terlahir dengan mempunyai rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah bertuhan. Rasa ingin tahu dan khayalan yang dimiliki siswa ialah modal dasar untuk bersikap peka, kritis, mampu berdiri diatas kaki sendiri, dan kreatif. Sedangkan fitrah bertuhan ialah cikal bakal manusia untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Dengan pengertian seperti di atas, maka aktivitas pembelajaran perlu membuatkan dan memperhatikan rasa ingin tahu dan imajinasi siswa serta diarahkan pada legalisasi rasa keagamaan sesuai dengan tingkatan usia siswa
Mengembangkan Keterampilan Pemecahan Masalah:
Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang akan dihadapkan kepada banyak sekali problem yang harus dipecahkan. Karenanya diharapkan keahlian dalam memecahkan masalah. Untuk terampil dalam memecahkan problem seseorang harus berguru melalui pendidikan dan pengajaran. Salah satu tolak ukur kesuksesan belajar siswa banyak ditentukan oleh kemampuannya dan kecerdasannya dalam memecahkan persoalan. Karena itu, dalam proses pembelajaran perlu diciptakan situasi yang menantang kepada siswa untuk mencari dan mendapatkan duduk perkara, serta melakukan pemecahan dan mengambil kesimpulan. Agar siswa cekatan memecahkan persoalan guru dapat memakai pendekatan ketrampilan proses dalam acara pembelajaran.
Dengan pendekatan kemampuan proses siswa diarahkan untuk dapat mendapatkan ketrampilan dasar pemecahan problem yaitu: mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan dan mengkomunikasikan. Disamping ketrampilan dasar pemecahan problem siswa diharapkan juga menemukan kemampuan pemecahan dilema secara terintregasi yang mencakup: mengidentifikasi variabel, mendefinisikan variabel secara operasional, menyusun hipotesis, menghimpun dan mengolah data, membuat tabulasi data, menghidangkan data dalam bentuk distribusi frekuensi, grafik histogram atau poligon, menghubungkan antar variabel, analisis terhadap data observasi, merancang observasi serta melaksanakan atau melaksanakan percobaan.
Mengembangkan kreatifitas siswa:
Siswa mempunyai potensi untuk berlainan. Perbedaan siswa tampakdalam pola berfikir, daya imanjinasi, fantasi (pengandaian) dan hasil karyanya. Karena itu, acara pembelajaran perlu dipilih dan di rancang semoga member potensi dan keleluasaan berkreasi secara berkesinambungan dalam rangka menyebarkan kreatifitas siswa. Kreativitas siswa ialah kemampuan mengkombinasikan atau menyempurnakan sesuatu menurut data, info atau komponen-unsur yang sudah ada. Secara lebih luas kreativitas merupakan kesanggupan yang dimiliki seseorang dalam menciptakan komposisi, produk atau pemikiran apa saja yang intinya gres, dan sebelumnya tidak diketahui pembuatannya.
Hasil kreativitas dapat berupa produk seni, kesusastraan, produk ilmiah, atau mungkin bersifat prosedural atau metodologis. Pembelajaran yang menuntut siswa berfikir inovatif, yaitu kesanggupan-berdasarkan data dan informasi yang tersedia menemukan banyak kemungkinan tanggapan terhadap suatu persoalan di mana penekanannya adalah kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman tanggapan. Ciri-ciri pembelajaran yang mendorong kreativitas seseorang selaku berikut: muncul dorongan rasa ingin tahu yang besar, kesengsem kepada peran-peran yang beragam yang dicicipi selaku tantangan, berani mengambil resiko untuk menciptakan kesalahan atau dikritik oleh orang lain, tidak mudah putus asa, menghargai keindahan, mempunyai rasa humor, ingin mencari pengalaman-pengalaman baru, mampu menghargai baik diri sendiri maupun orang lain, dan sebagainya.
h. Mengembangkan kemampuan memakai ilmu wawasan dan teknologi:
Ilmu wawasan dan teknologi terus mengalami kemajuan dan penyempurnaan. Ilmu wawasan dan teknologi diciptakan untuk mempermudah manusia dalam mengerjakan kehidupannya. Agar ilmu wawasan dan teknologi yang sudah dibuat manusia mampu dimanfaatkan oleh manusia kebanyakan serta siswa pada khususnya, siswa perlu mengenal dan mampu menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi semenjak dini, serta tidak gagap terhadap kemajuan ilmu dan teknologi.
Dengan demikian aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menunjukkan kesempatan dan potensi kepada siswa menemukan gosip dari sumber mencar ilmu dan media pembelajaran yang menggunakan teknologi. Siswa juga diarahkan untuk mengenal dan bisa menggunakan multi media yang mampu digunakan dalam penyajian bahan pembelajaran. Salah satu cara yang mampu digunakan supaya siswa mengenal dan bisa memakai teknologi adalah dengan cara menunjukkan peran yang mengharuskan siswa bekerjasama pribadi dengan teknologi, contohnya membuat laporan tentang materi tertentu dari televisi, radio, atau bahkan internet. Atau mempresentasikan tugas yang sudah dengan memakai sekurang-kurangnyaOHP dan bila memungkinkan memakai kamera in focus.
Pada desain pembelajaran ini aku mengambil dasar dari teori yang diungkapkan oleh Thorndike yang disebut dengan koneksionisme.
F. Hukum-hukum Utama (Mayor)
Thorndike menyimpulkan beberapa prinsip dan hukum-hukum yang mampu mengikhtisarkan proses mencar ilmu. Thorndike menyebutkan tiga hukum terutama itu dengan nama: Hukum latihan, hukum imbas, dan aturan kesiagaan/kesiapan.[8]
Hukum Latihan ( Law of Exercise)
Secara singkat hukum ini berpegang pada hal-hal yang serupa dan mencar ilmu terjadi lewat latihan dari tindakan tertentu. Di dalam teori koneksionisme seseorang mampu menyatakan bahwa latihan dapat menguatkan ikatan atau hubungan. Thorndike membaginya menjadi dua aspek adalah aturan kegunaan dan hukum ketidakgunaan.
(1) Hukum kegunaan (Law of Use) ;
Bila sebuah relasi mampu dibentuk antara satu suasana dengan satu respons maka kekuatan kekerabatan dalam situasi yang mempunyai persamaan itu akan bertambah. Thorndike menyatakan bahwa besarnya kekuatan relasi dipengaruhi oleh bermacam hal mirip tenaga/kekuatan dan lamanya waktu dari masa latihan.
(2) Hukum ketidakgunaan (Law of disuse) ;
Hukum ketidakgunaan mengikuti hukum kegunaan yakni tanpa latihan suatu korelasi akan lemah. Dengan perkataan lain sebuah korelasi yang dapat diubah antara satu suasana dengan satu respons tidak terjadi dalam suasana yang sama, maka korelasi itu akan lemah. Dalam perkembangan berikutnya Thorndike menghemat peranan dari aturan latihan ini di dalam teorinya.
Hukum Pengaruh (Law of Effect)
Hukum efek Thorndike mengemukakan, bahwa jikalau suatu tindakan dibarengi oleh suatu pergantian yang membuat puas dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi-situasi yang mirip, akan menungkat. Tetapi jikalau sebuah sikap disertai oleh sutu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan-kemungkinan bahwa perilaku itu diulangi, akan menurun.[9] Dalam kehidupan manusia cendrung melaksanakan apa yang menyenangkan dan menolak apa yang menjengkelkan. Dalam terminology terbaru, jikalau suatu stimulus menumbulkan sebuah respons yang pada gilirannya mengakibatkan penguatan , maka koneksi S-Rakan menguat. Jika di pihak lain stimulus menyebabkan eksekusi, koneksi S-R akan melemah.
c. Hukum Kesiagaan/ kesiapan ( Law of Readiness)
Fungsi utama dari hukum kesiapan ialah mengikat observasi tentang tingkah laris terhadap fisiologis. Usaha Thorndike untuk menghubungkan pengamatan tingkah laku kepada fisiologis.Thorndike memperlihatkan fokus pada relasi yang menerangkan karekteristik dari tingkah laris internal. Hukum kesiapan yang dikemukakan oleh Thorndike yang dikemukan dalam bukunya yang berjudul “The Original Nature of Man” mengandung tiga bagian yang diringkas selaku berikut:[10]
(1) Apabila satu unit konduksi sia menyalurkan (to conduct), maka penyaluran dengannya akan membuat puas.
(2) Apabila satu unit konduksi siap untuk menyalurkan, maka tidak menyalurkannya akan menjengkelkan.
(3) Apabila satu unit konduksi belum siap untuk penyaluran dan dipaksa untuk menyalurkan, maka penyakuran dengannya akan menjengkelkan.
Di sini kita menyaksikan term-term yang subjektivitasnya mungkin menggelisahkan teoritisi belajar modern. Namun mesti kita ingat bahwa Thorndike menulis sebelum ada gerakan behavioristik dan banyak hal-hal yang didiskusikannya belum pernah dianalisis secara sistematis sebelumnya. Juga perlu dicatat bahwa apa yang tampaknya merupakan term subjektif dalam tulisan Thorndike mungkin tidak subjektif. Misalnya apa yang dimaksudkannya dengan “unit konduksi yang siap menyalurkan” yaitu kesiapaan untuk bertindak dengan memakai terminologi kekinian, kita bisa menyatakan ulang aturan kesiapan Thorndike sebagai berikut:
(1) Ketika seseorang siap untuk melaksanakan sebuah langkah-langkah, maka melakuknnya akan membuat puas.
(2) Ketika seseorang siap untuk melaksanakan suatu tindakan, maka tidak melakukannya akan menyebalkan.
(3) Ketika seseorang belum siap melaksanakan sebuah tindakan namun dipaksa untuk melakukannya akan menyebalkan.
Hukum-Hukum Minor
Sebaliknya dari fisiologis pada tingkah laku, ada beberapa aspek lain dari tingkah laku anak kucing yang nampaknya begitu teratur menggambarkan karakteristik yang biasa ketimbang berguru. Thorndike tertarikpada karakteristik ini yang disebutnya sebagai hukum minor. Hukum minor tersebut yaitu multiple respons atau reaksi yang berbeda-beda, set atau perilaku, partial activity, assimilation atau analogy serta assosiative shifting.
Hukum Multiple Respons atau Varied Reaction.
Hukum ini menyebutkan bahwa dalam situasi yang baru pada umumnya tindakan subjek memperlihatkan respons yang banyak atau reaksi yang bermacam-macam. Hal ini memiliki arti bahwa dalam tindakan berguru terdapaat kemungkinan dari masing-masing respons yang dapat ialah sesuatu yang dipelajari dan dapat mendapatkan kepuasan (bergantung pada kondisi yang berlaku), sehingga memungkinkan satu keseragaman dari hubungan mampu diperkuat di dalam situasi ini.
b. Hukum Set atau Attitude
Hukum ini menyatakan bahwa bab dari suasana itu mungkin memiliki imbas yang kuat pada semua atau sebagian tingkah laku subjek, sehingga beberapa respons mungkin secara paraktis terikat pada semua rangsangan yang terjadi pada situasi tersebut.
c. Hukum Assimilation atau Analogy
Hukum ini meyatakan bahwa jika organisme berhadapan dengan situasi yang gres, organisme itu akan beraksi sebagaimana ia bereaksi pada suasana lalu yang pernah dihadapinya.
d. Hukum Assosiative Shifthing
Hukum ini menyatakan bahwa sesuatu respons yang mampu dilakukan mampu dipelajari dengan cara diasosiasikan dengan situasi yang dihayatinya. Assosiative Shifthing (pergantian asosiatif) terkait erat dengan teori Thorndike tentang komponen identik dalam pelatihan transfer. Prosedur untuk menunjukkan pergeseran asosiatif dimulai dengan koneksi antara satu suasana tertentu dan satu respons tertentu. Kemudian seseorang secara bertahap mengambil komponen-unsur stimulus yang merupakan bab dari situasi awal dan menyertakan unsur stimulus yang bukan bagian dari stimulus permulaan.
Menurut teori elemen identik Thorndike, sepanjang ada cukup unsur dari situasi awal di dalam suasana gres, respons yang sama akan diberikan. Oleh karena itu, respons yang serupa mampu disampaikan melalui sejumlah pergantian stimulus dan kemudian dibentuk untuk mengakibatkan keadaan yang serupa sekali berlainan dengan kondisi yang diasosiasikan dengan respons awal.
Thorndike menyampaikan,
Dimulai dengan respons X untuk “abcde”, kita mampu mengambil beberapa unsur tertentu dan menyertakan komponen lainnya, sampai respons itu terhubung dengan “fghij”, yang tanpa proses itu mungkin tidak akan pernah terhubung ke sana. Secara teori, formula pertumbuhan dari “abcde” ke “abfgh”, ke “afghi”ke “fghij”, mungkin akan mengikatkan respons apapun ke situasi apapun, asalkan kita menata proses ini sedemikian rupa sehingga disetiap tahap respons X akan lebih membuat puas konsekuensinya bagi orang yang melakukannya.[11]
Hukum Belajar Manusia (Human Learning)
Walupun data utama yang diperolehnya dari percobaan dengan hewan. Thorndike tetap meletakkan perhatian kepada belaajar manusia. Belajar pada manusia berisikan[12]:
- Keterasingan dan kekuatan relasi. Perbedaan mungkin terletak di dalam faktor-faktornya misalnya derajat spesifikasi yang lebih rendah dalam menunjukkan respons.
- Manusia mampu bereaksi kepada instruksi yang keragamannya lebih luas di dalam satu situasi sehingga membuat belajar pada manusia lebih lazim ketimbang hewan.
- Tingkah laku insan masih ialah kebiasaan namun tidak begitu didominasi oleh situasi latihan yang orisinil mirip terjadi pada hewan.
d. Perbedaan insan dan binatang dalam belajar bahwa satu suasana lebih berpartisipasi secara aktif di dalam mencar ilmu tentang pemilihan semua bagian yang paling kritis dan penting. Perbedaan ini bagaimanapun tidak menggambarkan ketegasan dalam pertukaran dari hewan kepada manusia, namun menggambarkan pergeseran dalam tekanan.
Daftar Pustaka dan Footnote
[1] Dewi Salma, Prinsip Desain Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.15.
[2] Ibid
[3] Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Pembelajaran,(Jakarta: Kencana Penada Group, 2008) h.65.
[4]. Ibid
[5] Abd Gafur, dkk. Desain instruksional (Satuan Langkah Sistematis Penyusunan Pola Dasar Kegiatan Belajar Mengajar, (Solo: Tiga Serangkai, 1980), h 23.
[6] S. Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 39
[7] Qowaid, Dkk. Inovasi pembelajaran PAI. ( Jakarta: Pena Citrasatria, 2007).h. 2
[8] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), h.40.
[9] Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, (Jakarta: Erlangga, 1989), h.24.
[10] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2002), h.250.
[11] E. L. Thorndike, Educational Psychology, (New York: Teacher College Press, 1913), h. 30.
[12]Nana Sudjana, Teori-Teori Belajar Untuk Pengajaran, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1990)…, h.59.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon