A. PENDAHULUAN
Madrasah-madrasah selama pra-kemerdekaan, intinya belum menawarkan keseragaman dalam aneka macam hal seperti kala berguru, penjenjang, dan kurikulum. Dalam perbandingan antara bobot mata pelajaran agama dan umum, juga berbeda-beda antara satu madrasah dengan madrasah lainnya.
Periode 1994 hingga dengan kini idealnya mrngangkat lembaga pendidikan madrasah sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Madrasah dari tingkatan ibtidaiyah, tsanawiyah sampai aliyah memiliki kurikulum yang serupa dengan sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan pendidikan menengah, ditambah dengan ciri keislamannya yang tertuang dalam kurikulum ialah memiliki mata pelajaran agama yang lebih. Civil effect madrasah juga menjadi sama dengan yang dimiliki sekolah-sekolah hasil bentukan Departemen Pendidikan Nasional.
Madrasah pada priode ini berada di bawah naungan UUSP No. 2 Tahun 1989 dan dikelola oleh PP No. 28 dan 29. Selanjutnya, untuk menindak lanjuti pelaksanaan PP itu, Menteri PDK dan Menteri Agama mengeluarkan surat keputusan masing-masing. Menteri PDK mengeluarkan SK No. 0489/U/1992 ihwal Sekolah Umum. Sedangkan Menteri Agama mengeluarkan SK No. 370 Tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah, serta SK No. 373 Tahun 1993 perihal Kurikulum Madrasah Aliyah Umum (MAU) dan SK No. 374 Tahun 1993 wacana Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK).
B. PEMBAHASAN
A. Lulusan Pendidikan Islam
Setelah proklamasi kemerdekaan R.I., madrasah berlangsung sesuai dengan kesanggupan para pengasuh dan penduduk pendukungnya masing-masing. BP KNPI mengusulkan supaya pendidikan di madrasah berlangsung terus dan dipercepat,[1] sertadiberikan subsidi.[2] Di samping itu, ijazah dari madrasah swasta (MIS) dihargai[3] dan diakui sama dengan ijazah dari madrasah negeri (MIN), serta tamatannya mempunyai civil effect yang serupa dengan madrasah negeri.[4]
Pembaharuan madrasah telah dimulai semenjak Orde Lama (1945-1965). Tahun1958/1959, contohnya, Departemen Agama melaksanakan upaya pembaharuan sistempendidikan di madrasah dengan memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB)dengan spesifikasi: usang mencar ilmu 8 tahun (mempunyai arti 8 kelas) untuk murid usia 6 sampai 14 tahun, bermaksud untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, industri dan transmigrasi,materi mencakup wawasan agama, biasa dan keahlian, dan berbasis padapembangunan penduduk pedesaan ( rural development ).[5] Guna menyanggupi tenagaguru di MWB-MWB tadi, di dirikanlah Pusat Pelatihan Guru MWB di Pacet, Cianjur, Jawa Barat. Pusat Pelatihan ini bersifat nasional. Peserta pelatihan yakni para tamatanPGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) di seluruh Indonesia. Kurikulum pelatihanmencakup pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan dan koperasi. Ada pulapendidikan olah raga dan agama.[6] Sayangnya, MWB ini tidak berjalan sebagaimanadiharapkan, hanya bertahan beberapa tahun saja. Karena aspek keterbatasan fasilitas ,peralatan, guru, respons masyarakat yang kurang dan pihak penyelenggara madrasahyang tidak profesional, [7] maka acara ini tidak berlanjut.
Pada kurun awal Orde Baru, antara tahun 1967 sampai 1970, dilakukanpenegerian di lingkungan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Peraturan Menteri Agama No.7/1952 tanggal 23 Juli 1952 tentang pemberian derma terhadap madrasah rendah dan lanjutan (MI dan MTs), yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Agama (waktu itu K.H.Wahib Wahab) No.2/1960 dengan ketetapan tentang bentuk pemberian (kado, pertolongan atau perlindungan),syarat-syarat menemukan derma, cara penetapan tunjangan pemberian, pengawasan dan keharusan perguruanagama Islam, pengubahan dan penghentian dukungan pertolongan dan pelaksanaan santunan derma. Lihatjuga: Deliar Noer, “Administration of Islam in Indonesia” dalam Monograph Series. Publication No. 58. NewYork: Southeast Asian Program, Cornell University, 1978. serta merubah nama dan struktur Madrasah Negeri. [8] Selanjutnya, tahun 1975, lewat SKB 3 Menteri, madrasah ditingkatkan kualitas pendidikannya.[9] Berangkat dari SKB 3 Menteri tersebut PAI akademi agama menjadi sejajardengan sekolah lazim. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah lazim, lulusan madrasah mampu melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah lazim mulai darijenjang SD hingga Perguruan Tinggi, status dan kedudukan madrasah jugasama dengan sekolah.[10]
Sebagai konsekuensi adanya SKB 3 Menteri ini ialah bahwa seluruh madrasah mesti melaksanakan pergeseran kurikulum dimana 70 % merupakanilmu pengetahuan biasa dan 30 % ilmu pengetahuan agama. Dengan ini pula diperlukan LPI dapat meningkatkan kualitasnya, sehingga mampu bersaing dengan sekolah lazim.[11] Bedanya, madrasah berada di bawah payung Departemen Agama, sementara sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional, di sampingadanya perbedaan proporsi bahan pelajaran agama Islam di dua forum tersebut.Posisi madrasah ini dipertegas kembali dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 BabIV pasal 11 ayat 6 ihwal pendidikan keagamaan, yang kemudian dijabarkan dalamPeraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri, bahwa MI, MTs, dan MA masing-masing termasuk Sekolah Dasar, SLTP, dan SMU yang berciri khas agama Islam dan di adakan oleh Departemen Agama.[12] Tanggungjawab atas pengelolaan madrasah dilimpahkan kepada Menteri Agama.[13] Siswa berhak memperoleh pendidikanagama sesuai dengan agama yang dianut[14] kalau dalam satu kelas di suatusekolah terdapat sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang siswa yang memeluk agamatertentu, pendidikan agama siswa yang bersangkutan wajib diberikan di kelastersebut,[15] sementara bagi siswa yang tidak memeluk agama yang sedang diajarkanpada dikala berlangsungnya pelajaran agama di kelas itu diberi keleluasaan.[16]
Kurikulumdan materi kajian yang diberikan di madrasah sekurang-kurangnyasama dengan di sekolah, disamping materi kajian lain yang diberikan pada madrasah tersebut.[17] Kurikulum di Bab IX pasal 25 dan 26. Isi kurikulum SD wajib menampung sekurang-kurangnya bahan kajiandan pelajaran: pendidikan Pancasila, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,membaca dan menulis, Matematika (termasuk berhitung), pengantar sains dan teknologi, ilmu bumi, kerajinantangan dan kesenian, pendidikan jasmani dan kesehatan, sejarah nasional, dan menggambar. Sedang isi pasal 5. Bandingkan juga dengan kebijakan sebelumnya, Peraturan Bersama MenteriPendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No.17678/Kab tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) danNo.K/1/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) ihwal Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah Negeripasal 4 ayat 3, bahwa murid dalam suatu kelas yang memeluk agama lain dibandingkan dengan agama yang sedang di ajarkan pada sebuah waktu tertentu, dan murid-murid yang walaupun memeluk agama yang sedang diajarkantetapi tidak menerima izin dari orang tuanya untuk mengikuti pelajaran itu, boleh meninggalkan kelasnyaselama jam pelajaran agama itu.
Madrasah belakangan di modernisir melalui upaya Departemen Agama untuk menyusunbuku tutorial guru mata pelajaran biasa yang bernuansa Islam,[18] atau buku pelajarankeislaman yang bertemailmu wawasan, teknologi dan seni, meskipun dalamrealisasinya masih dihadang oleh kendala teknis-operasional berupa SDM dan kemudahan.Belum lagi kendala klasik yang berhubungan dengan ketidakadilan alokasi dana untuk madrasah dari Departemen Agama kalau ketimbang alokasi dana untuk sekolah lazim dari Departemen Pendidikan Nasional. [19]
Walaupun dikala ini keadaan madrasah sudah mengalami pergeseran biladibandingkan dengan masa permulaan kemunculannya hingga selesai Orde Baru, namunperbedaan menonjol masih ditemui oleh madrasah bila dibandingkan kondisinyadengan sekolah lazim. Bagaimana peran dan keadaan madrasah saat ini? Berikut iniadalah uraian wacana citra umum madrasah dimaksud.
B. Gambaran Umum Kondisi Pendidikan Islam
1. Data Kelembagaan Madrasah Pendidikan Islam
Pendataan secara terpadu kepada forum pendidikan yang bernaung dibawah Departemen Agama, ialah madrasah, sudah dimulai semenjak tahun 1998.Saat ini, pendataan tersebut ditangani oleh Bagian Data dan Informasi PendidikanSetditjen Kelembagaan Agama Islam. Jumlah forum yang berhasil didata daritahun ke tahun menawarkan adanya peningkatan yang cukup pesat. Perkembanganjumlah madrasah yang berhasil didata sepanjang tahun 2001 sampai 2004 disajikanpada beberapa grafik berikut:
kurikulum SLTP wajib memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran sebagaimana yang diberikandi tingkat Sekolah Dasar di atas ditambah dengan pelajaran Bahasa Inggris (SK Menteri Menteri Pendidikan danKebudayaan (sekarang Menteri Pendidikan Nasional) No. 054/U/1993 wacana SLTP Bab IX pasal 19 dan20), sementara isi kurikulum SMU wajib menampung bahan kajian dan mata pelajaran sebagaimana diberikan ditingkat SLTP di atas, ditambah beberapa mata pelajaran: ekonomi, geografi, sosiologi, kimia, fisika, biologi,dan bahasa asing. Baik di SLTP mapun SMU mampu memperbesar mata pelajaran sesuai dengan keadaanlingkungan dan ciri khas SLTP yang bersangkutan dengan tidak meminimalisir kurikulum yang berlaku secaranasional dan tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional
2. Peserta Didik (Siswa) Pendidikan Islam
Saat ini total siswa pada madrasah ialah 6.022.965 jiwa mulai dari tingkat MI sampai MA. Pada tingkat MI siswa berjumlah 3.152.665 atau 12.1% dari jumlahpenduduk usia sekolah 7 – 12 tahun, pada tingkat MTs siswa berjumlah 2.129.564atau 15.9 dari jumlah penduduk usia sekolah 13 – 15 tahun, pada tingkat MA siswaberjumlah 744.736 atau 5,7 % dari jumlah penduduk usia sekolah 16 – 18 tahun.Perkembangan jumlah siswa dari tahun 2001 sampai 2004 pada grafik berikut ini : Grafik 3. Perkembangan jumlah siswa semenjak tahun 2001 hingga 2004 kemajuan tersebut secara rata-rata lebih tinggi dibandingkan denganpertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini memperlihatkan adanya indikasi keinginanmasyarakat yang lebih tinggi untuk menyekolahkan anaknya dimadrasahdibandingkan sekolah biasa .Dari rasio rombongan belajar (rasio jumlah siswa per rombonganbelajar), terlihat bahwa rasio pada tingkat MTs lebih tinggi daripada MI dan MA.Rasio rombel pada tingkat MTs 33,9; pada tingkat MA 32,1 dan pada tingkat MI21,3. Daya serap madrasah terhadap siswa baru yang mendaftar termasuk tinggi.Pada tingkat MI tahun 04/05 daya serap meraih 97,0% dari jumlah pendaftaryang ada. Hal ini mempunyai arti terdapat 3,0% dari pendaftar yang tidak mampu diserap olehMI. Sementara pada tingkat MA, daya serap pada tahun 04/05 91,3% yang berartiterdapat 8,7% dari para siswa kandidat pendaftar tidak dapat diserap.Beragamnya kualitas input siswa gres pada madrasah dapat dilihat padatabel 2.9 hingga 2.11 (Jumlah Pendaftar dan Siswa Baru Berdasarkan AsalSekolah). Pada tingkat MI, sebagian besar (47,8%) siswa gres eksklusif dari orangtua yang memiliki arti bahwa mereka tidak melalui pendidikan pra sekolah. Siswa baruyang melalui pendidikan TK Islam sebanyak 40,0% dan sisanya sebanyak 12,3%lewat pendidikan Taman Kanak-kanak Umum.Pada tingkat MTs, sebagian besar siswa gres berasal dari Sekolah Dasar Negeri(mencapai 70,6%) disusul dari MI Swasta sebanyak 21,5%; MI Negeri sebanyak 5,6% dan Sekolah Dasar swasta sebanyak 2,2%. Pada tingkat MA, siswa baru sebagian besarberasal dari MTs Swasta (mencapai 47,6%) disusul Sekolah Menengah Pertama Negeri sebanyak 23,1%;MTs Negeri sebanyak 21,0% dan Sekolah Menengah Pertama Swasta sebanyak 8,3%. Hal inimenunjukkan bahwa pada tingkat MTs dan MA juga banyak disukai oleh paralulusan dari sekolah umum.Lulusan MI, sebagian besar melanjutkan pendidikan yang lebih tinggimencapai 88.7% yang tersebar pada MTs, SMP dan Pondok Pesantren.
Lulusan yang melanjutkan MTs sebanyak 49.3%; SMP sebanyak 29.5% dan Pondok Pesantren sebanyak 9.9%. Sedangkan yang yang yang lain sebanyak 10.4% tidak dimengerti Lulusan MTs yang melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sebanyak 63.9% yang tersebar pada MA, Sekolah Menengan Atas dan Pondok Pesantren. Sebanyak 8.2%melakukan pendidikan informal lewat kursus-kursus dan bekerja, sedangkan yanglainnya sebanyak 27.9 tidak dimengerti. Lulusan yang melanjutkan MA sebanyak 39.5%; SMA sebanyak 37.8% dan Pondok Pesantren sebanyak 11.4%. LulusanMA yang melanjutkan Perguruan Tinggi yang terdaftar pada PTAI sebanyak 21.6%dan PTU sebanyak 14.0%.Dari klarifikasi sebelumnya diperoleh informasi bahwa siswa gres padatingkat MI sebagian besar ialah siswa yang yang belum melalui pendidikan prasekolah. Hal ini menjadi salah satu hambatan yang menyebabkan tingkat pengulangpada MI masih tinggi. Jika ketimbang MTs dan MA, maka dapatdikatakan bahwa tingkat pengulang pada MI mencapai 2.6 % untuk MTS 0.2% danuntuk MA 0.2 %, dari data diatas pengulang untuk MI meraih 10 kali lebihtinggi dibandingkan MTs dan MA.Secara biasa bahwa tingkat putus sekolah pada tingkat MTs dan MAlebih tinggi dibandingkan MI. Selain itu juga tampakbahwa tingkat putus sekolahpada MTs dan MA ada sedikit kenaikan sedangkan pada MI terus menurun. Salahsatu penyebab tingginya tingkat putus sekolah pada MTs dan MA adalahkemampuan sosial ekonomi orangtua. Orangtua siswa pada madrasah sebagianbesar (mencapai 84%) berasal dari kalangan kurang mampu (pemasukan dibawah UMR).
3. Guru Madrasah Pendidikan Islam
Guru yang mengajar pada madrasah dari tingkat MI hingga MA berjumlah524.679 yang berisikan Guru PNS sebanyak 71.422 (13.61%) dan guru Non-PNSsebanyak 453.257 (86.39%). Banyaknya jumlah guru Non-PNS alasannya adalah banyaknyalembaga madrasah yang berstatus swasta yang langsung diatur oleh penduduk .
4. Fasilitas Ruang Belajar
Ruang kelas yang dalam keadaan baik (patut untuk dipakai) hanya 55,6%atau berjumlah sekitar 126.095 dari tingkat MI hingga MA. Jumlah ini sungguh tidak cocok jikalau dibandingkan dengan jumlah rombongan berguru yang mesti dilayaniberjumlah 233.776. Dari angka tersebut jelaslah bahwa hanya 53,9% rombonganbelajar yang dapat dilayani dengan ruang kelas yang mencukupi. Sedangkan sisanyasebanyak 46,1% rombongan mencar ilmu memakai ruang kelas yang kurangmemadai. Grafik 5. Kondisi Ruang Kelas.Dari data yang dikumpulkan tampakbahwa jumlah madrasah yangmenyelenggarakan pendidikan secara variasi (pagi dan siang) meraih 5.9%.Yang mempunyai arti terdapat sebanyak 2.376 madrasah terpaksa menggunakan waktu pagisampai sore hari untuk mengadakan pendidikan alasannya adalah kelemahan ruangkelas. Madrasah yang menyelenggarakan pendidikan pada siang hari sebanyak 14.1% dan sebanyak 80,0% madrasah menyelenggarakan pendidikan dipagi hari.Untuk menanggulangi keadaan yang demikian, maka perlu tugas pemerintah dalammemberikan sumbangan kepada madrasah untuk mendirikan ruang kelas baru ataumemperbaiki ruang kelas yang rusak.Keterbatasan lain nampak bada tunjangan dana dari Pemerintah kepadamadrasah swasta yang relatif kecil. Namun demikian madrasah masih tetapmembutuhkan kemitraan dengan Pemerintah, terutama sekali untuk memperolehpengakuan dan status madrasah, serta sumbangan keuangan dan materi pelajaran. semua kekurangan di atas merupakan problema yang dihadapi oleh madrasahhingga saat ini.
C. Problematika Guru Madrasah dalam Pendidikan Islam
Lebih dari 80% madrasah berstatus swasta. Kurikulum dan tata cara akreditasi madrasah berada dalam payung Departemen Agama. Hanya sedikit madrasah yang menerima bantuan dari Pemerintah dalam bentuk dana, buku teks, dan guru. Walaupun begitu, sumbangan Pemerintah sekarang kian berkembangseiring dengan kesepakatan Pemerintah untuk mengembangkan kualitas pendidikan nasional. Yang perlu diapresiasi adalah madrasah swasta yang mengadakan pendidikan dasar tanpa mendapat bantuan berarti dari Pemerintah. Di sini perlu dibuat planning kebijakan yang jelas untuk memperluas derma terhadap madrasah swasta secara sistematis dan jangka panjangmelalui rumusan kriteria sumbangan yang cermat. Sebab, pendidikan dasar ialah hak konstitusional tiap anak mengingat pelaksanaan program wajib berguru tidak bisa mengesampingkan tugas madrasah swasta.Dari kondisi madrasah sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat dianalisisbeberapa problema yang dihadapi oleh madrasah (termasuk gurunya). Fasli Jalalmengemukakan isu-berita yang menjadi problema utama madrasah dalam beberapa hal:
Pertama, pada umumnya peserta bimbing madrasah berasal dari golongan penduduk dengan income rendah sementara kebanyakan madrasah berada di daerah pedesaan, akhirnya, tanpa sumbangan dari pihak Pemerintah maka madrasah swasta akan makin terpuruk.
Kedua, rendahnya mutu guru madrasah. Masih sering ditemui guru madrasah yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya, khususnya sekali guru madrasah untuk bidang studi Sains, Matematika dan bahasa Inggris yang masih jauh dari memuaskan. Belum lagi masalah banyaknya guru madrasah yang berstatus sebagai Guru Tidak Tetap atau GTT yang sering menjadikan problema kurangnyaketersediaan guru dan SDM. Rata-rata sekitar 65% guru madrasah mempunyai kualitasakademik Diploma 3 atau di atasnya, sementara sekitar 40% guru madrasah masihmengajar bidang studi yang bukan termasuk keahliannya. Selain itu, sekitar 46% gurumadrasah swasta berstatus Tidaj Tetap (GTT). Rasio Guru Tetap madrasah yaitu 1 :81 siswa, atau hanya 10% saja guru yang berstatus tetap (GT) dimana pada umumnya dari mereka itu yakni lulusan dari IAIN, UIN atau PTAI yang tidak memiliki latar belakangyang besar lengan berkuasa dalam mengajar Sains, Matematika atau bahasa Inggris. Selain itu, lebih dari60 % guru madrasah mengajar bidang studi yang tidak cocok dengan keahliannya.
Ketiga, di banyak provinsi menawarkan bahwa rata-rata penerimaan pesertadidik gres di bawah angka 150 orang. Jumlah akseptor asuh yang kecil menunjukkankondisi yang tidak hemat, terlebih jikalau diingat bahwa ongkos pendidikan madrasahmasih mengandalkan pemasukan dari penduduk setempat yang lazimnya miskin.
Keempat, sebagian besar madrasah menghadapi duduk perkara kurangnya fasilitasperpustakaan dan laboratorium. Untuk menanggulangi hal ini, Pemerintah meningkatkanfasilitas madrasah dalam bentuk Madrasah Model. Sekitar 25 MI, 70 MTs, dan 15 MAtelah dikembangkan menjadi Madrasah Model. Madrasah Model dilengkapi dengan asilitas laboratorium dan perpustakaan yang memadai, dimana pendanaannya diperolehdari santunan proyek ADB. Meskipun begitu, keberhasilan madrasah tersebut masihbelum teruji sepenuhnya.
Kelima, materi bimbing tidak mencukupi. Peserta didik madrasah biasanya yangterakhir mendapatkan sisa buku bimbing gratis dari Diknas lewat sistem pengiriman yangdidanai oleh Diknas. Berdasarkan sampel survey yang dijalankan pada tahun 1997-1998dapat dikenali bahwa sekitar 30% siswa MTs yang menerima buku asuh dari kurikulumbaru setelah pertengahan semester berlangsung, dan sekitar 30% siswa membeli bukuajarnya sendiri, sisanya 40% siswa hanya mengandalkan pada catatan pelajaran dikelas. Keadaan ini berganti sejak adanya proyek penerapan buku asuh yang baru. Secarabertahap kemampuan siswa mempunyai buku bimbing mulai membaik. Meskipun begitu,buku-buku acuan ang sebagiannya merupakan buku ajar dan materi bacaan masihkurang mencukupi dalam koleksi buku di perpustakaan.Dalam hal MTs swasta yang lazimnya menerima pendaftaran peserta latih dari kelompok ekonomi rendah, keadaannya kian memprihatinkan. Beberapa kelas MTsswasta yang dikunjungi memberikan bahwa kurang dari 5 siswa dalam kelas yangmemiliki buku bimbing. Kebijakan Pemerintah menekankan pada pencapaian kesetaraanakses dan kenaikan mutu pendidikan madrasah untuk menyetarakannya denganSMP. Hal ini pastinya memerlukan masukan yang sempurna bagi MTs dan ketersediaanbuku teks bagi mereka, baik negeri maupun swasta, yang setaraf dengan siswa di Sekolah Menengah Pertama.
Keenam, kebijakan yang tidak mendukung kenaikan mutu guru madrasahserta ketersediaan sarana prasarana. Umumnya lulusan pendidikan itu tergantung padafaktor masukan peserta bimbing yang mencakup tingkat kecerdasan siswa, latar belakangsosial-ekonomi orang renta, lingkungan keluarga, kualitas dan pengalaman guru,ketersediaan buku teks, rekan sejawat, administrasi sekolah, dan lain-lain. Walaupunpengaruh dari masukan tersebut masih dipertanyakan dalam penelitian, namun masukanyang setaraf pasti akan diraih secara sedikit demi sedikit dalam menuju ke keluaran (lulusan)yang setaraf pula. Saat ini, kualitas dan kuantitas input di madrasah masih di bawahsekolah umum. Misalnya saja, dalam hal sekolah lazim yang dikelola oleh Diknas,ketersediaan satu orang guru Sekolah Menengah Pertama yaitu untuk rasio 19 siswa, sementara kalau ketimbang MTs Negeri maka satu orang guru rasionya yaitu 30 siswa.Lebih parah lagi halnya dengan MTs Swasta, dimana satu orang guru rasionya adalah81 siswa, padahal di lingkungan Sekolah Menengah Pertama Swasta satu orang guru rasionya adalah 22 siswa.Terlebih lagi, dalam hal ketersediaan guru di lingkungan Depag masih jauh kualitasnyakarena cuma 30% dari kepala madrasah adalah lulusan SLTA. Dengan demikian,upaya up grading guru madrasah merupakan tantangan serius dan ialah syaratmendasar bagi perbaikan mutu pendidikan dan penentu bagi berhasilnya penerapankurikulum baru. Kesenjangan yang sama terjadi antara SMP dengan MTs dalam halketersediaan akomodasi fisik yang memadai bagi laboratorium, perpustakaan, buku teks,dan seterusnya.
Ketujuh, lemahnya sistem evaluasi di madrasah. Upaya untuk membenahikualitas proses belajar mengajar di madrasah juga diharapkan. Selain itu, nyata bahwasistem penilaian yang ada di madrasah dikala ini belum mampu membedakan antara berbagaitingkat berguru siswa, dengan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang siknifikan antarapersentase siswa yang lulus sekolah dengan perbedaan kualitas input mereka.
Kedelapan, lemahnya supervisi pendidikan. Di lingkungan madrasah terdapat654 pengawas bagi lebih dari 8000 MTs yang tersebar di lebih dari 299 provinsi dankabupaten. Ironisnya, sekitar 36% dari pengawas tersebut memiliki kualifikasi di bawahS-1. Kebanyakan dari mereka tidak terlatih dan tidak memiliki keterampilan tentangsupervisi. Anggaran untuk perjalanan mereka termasuk rendah, sehingga praktis tidak ada sistem pengawasan pendidikan.
D. Jenjang karir Guru Madrasah dalam Menghadapi Sertifikasi Guru
1. Kebijakan Sertifikasi Guru Melalui Jalur Pendidikan
Kebijakan Pemerintah untuk mengembangkan mutu dan profesionalisme guru tidak lepas dari faktor-aspek yang mengakibatkan rendahnya mutu pendidikannasional. Dalam konteks global, mutu SDM Indonesia tergolong amat rendah biladibandingkah dengan negera-negara lain, bahkan jika daripada negaratetangga dalam lingkup ASEAN. Data Human Development Index yang dikeluarkanoleh UNDP tahun 2003 menawarkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 112dari 175 negara. Bagaimana dengan keadaan guru secara nasional? Dari rekapitulasidata statistik Diknas menunjukkan bahwa 50,51 % guru SD berijazah di bawah D-2,sisanya 49,49 % berijazah D-2 ke atas. Sedang guru SLTP berijazah D-3 (Diploma3) 33,67 %, guru SLTP berijazah D-3, dan sisanya 66,33 % berijazah D-3 ke atas(Balitbang Diknas 2002). Guru yang layak mengajar cuma 50,7 % untuk jenjangSD, 64,1 % untuk SLTP, dan 67,1 % untuk SMU (Kompas, 3 Pebruari 2006: 7).
Faktor ekonomi juga ikut kuat. Sejak krisis ekonomi yang melandaIndonesia pada tahun 1997, kemampuan daya beli masyarat berdasarkan, harga barangmelambung tinggi, dan biaya pendidikan semakin tak terjangkau oleh kebanyakanmasyarakat. Sementara itu, kebijakan Pemerintah terkait dengan peningkatananggaran pendidikan belum bisa menanggulangi problema ini. Baru pada tahun 2003Pemerintah membuat komitmen untuk memajukan mutu pendidikan nasionalmelalui UU Sissiknas No. 20 Tahun 2003. UU ini menampung banyak hal terkaitdengan pendidik, dalam hal ini guru dan dosen, serta hal-hal yang mengendalikan tentangpembenahan mutu pendidikan nasional. UU ini diteruskan dengan hadirnyakebijakan yang menertibkan tentang guru dan dosen utamanya dalam rangkameningkatkan profesionalismenya melalui progran sertifikasi.Siapa bahwasanya guru tersebut? Apa yang dimaksud dengan sertifikasi? Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab I perihal Ketentuan Umum pasal 1disebutkan bahwa pendidik ialah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagaiguru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,dan istilah lain yang cocok dengan kekhususannya, serta ikut serta dalammenyelenggarakan pendidikan.Sedang dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 wacana Guru dan Dosen Bab Itentang Ketentuan Umum pasal 1 disebutkan bahwa guru yakni pendidik profesional dengan peran utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,melatih, menganggap, dan mengevaluasi akseptor didik pada pendidikan anak usia dinijalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. SedangSertifikasi yakni proses dukungan sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.Dengan demikian, akta pendidik yakni bukti formal selaku akreditasi yangdiberikan terhadap guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Dengan demikian, proses pembelajaran dalam program ini perlu memperhatikanhal-hal berikut.
1. Program pendidikan diselenggarakan selama-lamanya 2 (dua)semester.
2. Pengembangan materi ajar dijalankan menurut kriteria isi kurikulumdengan memikirkan keadaan setempat.
3. Dalam proses pembelajaran, dosenmampu berperan selaku model guru Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama, sehingga peserta ajar mendapat gambaran nyata ihwal sikap guru yang harus ditampilkan ketikamengajar.
4. Kegiatan pembelajaran menerapkan pendekatan yang mampu melibatkanpeserta ajar dalam pemerolehan konsep dan makna bahan kajian melaluipengalaman langsung dalam suasana pembelajaran yang mengasyikkan.
5.Kegiatan pembelajaran dijalankan secara bervariasi, sehingga memungkinkanterbentuknya pengaruh instruksional dan efek pengiring, mirip keterbukaan,kesanggupan kerjasama, berpikir kritis, dan saling menghargai.
6. Kegiatanpembelajaran memanfaatkan media dan sumber belajar yang mampu menumbuhkankreativitas akseptor bimbing untuk memilih alternatif media dan sumber berguru yangsesuai dengan kebutuhan siswa dari yang paling sederhana sampai yang palingcanggih ketika berada di sekolah.
Persyaratan peserta dan mekanisme rekrutmennya dikontrol selaku berikut:
1. Sertifikasi lewat jalur pendidikan diorientasikan bagi guru yunior yangberprestasi dan mengajar pada pendidikan dasar (Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama).
2. Peserta diusulkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota.
3. Seleksi peserta terdiri atas seleksi administratif dan seleksi akademik. Seleksiadministratif dikerjakan oleh dinas pendidikan Kabupaten/Kota sedangkanseleksi akademik dilakukan oleh LPTK difasilitasi oleh Ditjen Dikti.
Persyaratan peserta sertifikasi melalui jalur pendidikan adalah sebagai berikut.
1. Memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV)dari acara studi yang terakreditasi.
2. Mengajar di sekolah lazim di bawah binaan Departemen Pendidikan Nasional.
3. Guru PNS yang mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan olehPemerintah Daerah atau guru yang diperbantukan pada satuan pendidikan yangdiselenggarakan oleh masyarakat
4. Guru bukan PNS, ialah guru tetap yayasan (GTY) atau guru yang mengajar padasatuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemda .
5. Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
6. Guru SD yang mencakup guru kelas dan guru Pendidikan Jasmani. Guru kelasdiutamakan yang mempunyai latar belakang pendidikan S1 PGSD atau S1kependidikan yang lain, sedangkan guru Pendidikan Jasmani diutamakan yangmemiliki latar belakang S1 keolahragaan.
7. Guru Sekolah Menengah Pertama (bidang studi PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,IPA, IPS, Kesenian, Pendidikan Jasmani, dan guru bimbingan konseling) diutamakan yang mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya.Memiliki kurun kerja sebagai guru sekurang-kurangnya5 tahun dengan usia optimal 40 tahun pada ketika mendaftar .9
Memiliki prestasi akademik/non akademik dan karya pengembangan profesi ditingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional yang diselenggarakan olehpemerintah pusat, pemerintah daerah maupun organisasi/lembaga.10. Bersedia mengikuti pendidikan selama 2 semester dan meninggalkan tugasmengajar.11. Disetujui oleh dinas pendidikan kabupaten/kota dengan pertimbangan prosespembelajaran di sekolah tidak terganggu.Agar lebih jelasnya, mekanisme yang mesti dilalui leh guru madrasah dalammengikuti acara sertifikasi guru melalui jalur pendidikan.
1. Program pendidikan diselenggarakan selama-lamanya 2 (dua)semester.
2. Pengembangan materi ajar dijalankan menurut kriteria isi kurikulumdengan memikirkan keadaan setempat.
3. Dalam proses pembelajaran, dosenmampu berperan selaku model guru Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama, sehingga peserta ajar mendapat gambaran nyata ihwal sikap guru yang harus ditampilkan ketikamengajar.
4. Kegiatan pembelajaran menerapkan pendekatan yang mampu melibatkanpeserta ajar dalam pemerolehan konsep dan makna bahan kajian melaluipengalaman langsung dalam suasana pembelajaran yang mengasyikkan.
5.Kegiatan pembelajaran dijalankan secara bervariasi, sehingga memungkinkanterbentuknya pengaruh instruksional dan efek pengiring, mirip keterbukaan,kesanggupan kerjasama, berpikir kritis, dan saling menghargai.
6. Kegiatanpembelajaran memanfaatkan media dan sumber belajar yang mampu menumbuhkankreativitas akseptor bimbing untuk memilih alternatif media dan sumber berguru yangsesuai dengan kebutuhan siswa dari yang paling sederhana sampai yang palingcanggih ketika berada di sekolah.
Persyaratan peserta dan mekanisme rekrutmennya dikontrol selaku berikut:
1. Sertifikasi lewat jalur pendidikan diorientasikan bagi guru yunior yangberprestasi dan mengajar pada pendidikan dasar (Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama).
2. Peserta diusulkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota.
3. Seleksi peserta terdiri atas seleksi administratif dan seleksi akademik. Seleksiadministratif dikerjakan oleh dinas pendidikan Kabupaten/Kota sedangkanseleksi akademik dilakukan oleh LPTK difasilitasi oleh Ditjen Dikti.
Persyaratan peserta sertifikasi melalui jalur pendidikan adalah sebagai berikut.
1. Memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV)dari acara studi yang terakreditasi.
2. Mengajar di sekolah lazim di bawah binaan Departemen Pendidikan Nasional.
3. Guru PNS yang mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan olehPemerintah Daerah atau guru yang diperbantukan pada satuan pendidikan yangdiselenggarakan oleh masyarakat
4. Guru bukan PNS, ialah guru tetap yayasan (GTY) atau guru yang mengajar padasatuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemda .
5. Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
6. Guru SD yang mencakup guru kelas dan guru Pendidikan Jasmani. Guru kelasdiutamakan yang mempunyai latar belakang pendidikan S1 PGSD atau S1kependidikan yang lain, sedangkan guru Pendidikan Jasmani diutamakan yangmemiliki latar belakang S1 keolahragaan.
7. Guru Sekolah Menengah Pertama (bidang studi PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,IPA, IPS, Kesenian, Pendidikan Jasmani, dan guru bimbingan konseling) diutamakan yang mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya.Memiliki kurun kerja sebagai guru sekurang-kurangnya5 tahun dengan usia optimal 40 tahun pada ketika mendaftar .9
Memiliki prestasi akademik/non akademik dan karya pengembangan profesi ditingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional yang diselenggarakan olehpemerintah pusat, pemerintah daerah maupun organisasi/lembaga.10. Bersedia mengikuti pendidikan selama 2 semester dan meninggalkan tugasmengajar.11. Disetujui oleh dinas pendidikan kabupaten/kota dengan pertimbangan prosespembelajaran di sekolah tidak terganggu.Agar lebih jelasnya, mekanisme yang mesti dilalui leh guru madrasah dalammengikuti acara sertifikasi guru melalui jalur pendidikan.
2. Kesiapan Guru Madrasah
Bila diperhatikan bahwa kebijakan wacana sertifikasi guru madrasah dalam jabatan lewat jalur pendidikan ini diperuntukkan bagi mereka yang tidak mengikuti sertifikasi jalur portofolio, dan dipersyaratkan bahwa mereka ialah gurumuda yang berkualifikasi sarjana S-1 dan telah mengajar minimal lima tahun sertamemiliki prestasi, maka hal ini susah dipenuhi oleh guru madrasah. Kembali kepadakondisi dan problema yang dihadapi oleh guru madrasah sebagaimana diuraikansebelumnya yang memperlihatkan rendahnya mutu akademik mereka biladibandingkan dengan guru di sekolah biasa yang lebih siap mengikuti programsertifikasi guru jalur pendidikan.Ditengah pengaruh globalisasi, forum pendidikan Islam khususnyamadrasah masih harus menghadapi banyak sekali tantangan. Di antaranya, bagaimanamadrasah dapat setara, dan bisa bersaing dengan sekolah-sekolah lazim.Menurut Malik, Kepala Balitbang Agama DKI Jakarta, kini sudah saatnya,madrasah mampu memainkan peran penting dalam kehidupan global, tanpa kehilanganciri khas serta jati dirinya selaku lembaga pendidikan Islam. Menurutnya, sebagailembaga pendidikan tertua di Indonesia, kemajuan lembaga pendidikan Islamkhususnya madrasah, masih sering diperlakukan diskriminatif.
Padahal, sebagainegara yang mayoritas muslim seperti Indonesia, tidak pantas madrasah diposisikansebagai lembaga pendidikan 'kelas dua'. Depag lewat balai penelitiannya terusberupaya menyetarakan madrasah dengan forum pendidikan umum, memberikanpeluang kepada guru dan siswa siswi madrasah, untuk melanjutkan pendidikan diperguruan tinggi biasa . Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyasmenyatakan, profesionalisme guru agama perlu terus dikembangkan, salah satunyadengan menunjukkan sertifikasi kepada guru sebagai tolak ukur peningkatanprofesionalisme. "Sertifikasi guru saat ini mampu menjadi salah satu tolak ukur dariprofesionalisme seorang guru, utamanya guru agama, untuk selalu meningkatkankemampuannya.Kualifikasi pendidikan guru madrasah hingga dikala ini masih relatif rendah.Hal ini tampakpada grafik dibawah ini.
Persebaran tingkat pendidikan gurumadrasah menumpuk pada jenjang SLTA, D2 dan S1 atau lebih. Pada tingkat MI kualifikasi guru sebagian besar berada pada SLTA dan D2. Tingkat MTs dan MAsebagian besar kualifikasi pendidikan guru sudah mencapai S1 atau lebih. Grafik 5. Kualifikasi Pendidikan Guru Madrasah Tahun 2004Kualifikasi guru MI yang telah menyanggupi tolok ukur (D2 atau lebih)berjumlah 49.5% dan yang belum menyanggupi standar sebanyak 50.5%. Pada tingkatMTs yang sudah menyanggupi kriteria (D3 atau lebih) sebanyak 66.2% dan yangbelum memenuhi standar sebanyak 33.8%. Pada tingkat MA yang sudah memenuhistandar (S1 atau lebih) sebanyak 72.0% dan yang belum sebanyak 28.0%
Padahal, sebagainegara yang mayoritas muslim seperti Indonesia, tidak pantas madrasah diposisikansebagai lembaga pendidikan 'kelas dua'. Depag lewat balai penelitiannya terusberupaya menyetarakan madrasah dengan forum pendidikan umum, memberikanpeluang kepada guru dan siswa siswi madrasah, untuk melanjutkan pendidikan diperguruan tinggi biasa . Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyasmenyatakan, profesionalisme guru agama perlu terus dikembangkan, salah satunyadengan menunjukkan sertifikasi kepada guru sebagai tolak ukur peningkatanprofesionalisme. "Sertifikasi guru saat ini mampu menjadi salah satu tolak ukur dariprofesionalisme seorang guru, utamanya guru agama, untuk selalu meningkatkankemampuannya.Kualifikasi pendidikan guru madrasah hingga dikala ini masih relatif rendah.Hal ini tampakpada grafik dibawah ini.
Persebaran tingkat pendidikan gurumadrasah menumpuk pada jenjang SLTA, D2 dan S1 atau lebih. Pada tingkat MI kualifikasi guru sebagian besar berada pada SLTA dan D2. Tingkat MTs dan MAsebagian besar kualifikasi pendidikan guru sudah mencapai S1 atau lebih. Grafik 5. Kualifikasi Pendidikan Guru Madrasah Tahun 2004Kualifikasi guru MI yang telah menyanggupi tolok ukur (D2 atau lebih)berjumlah 49.5% dan yang belum menyanggupi standar sebanyak 50.5%. Pada tingkatMTs yang sudah menyanggupi kriteria (D3 atau lebih) sebanyak 66.2% dan yangbelum memenuhi standar sebanyak 33.8%. Pada tingkat MA yang sudah memenuhistandar (S1 atau lebih) sebanyak 72.0% dan yang belum sebanyak 28.0%
Daftar Pustaka dan Footnote
- Abdul Rachman Shaleh. Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta:Gemawind Pancaperkasa, 2000.
- Ace Suryani dan H.A.R. Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung:Remaja Rosdakarya, 1993.
- Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk dan Masa Depannya (Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
- Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999
- Deliar Noer. “Administration of Islam in Indonesia” dalam Monograph Series. PublicationNo. 58. New
- York: Southeast Asian Program, Cornell University, 1978.
- Djumhur, I. dan Danasuparta. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu, 1976.Ensiklopedi Islam 3. Jakarta: PT
- Ichtiar Baru van Hoeve, 1993.
- Fadjar, A. Malik. “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, dalamDawam Rahardjo (Ed.),
- Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional. Jakarta:Intermasa, 1997.
- Fadjar, A. Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1999
- Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.). IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos,2002.
- Haidar Putra Daulay, “Pesantren, Sekolah dan Madrasah: Tinjauan dari Sudut KurikulumPendidikan Islam”
- dalam Hasil penelitian (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan, 1991.
- Husni Rahim. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2001.
- Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi pertama (Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
____________________
[1] Keputusan BP KNPI No.15 tanggal 22 Desember 1945. Lihat Muljanto Sumardi, BibliografiPendidikan Islam di Indonesia: 1945-1975, (Jakarta: Lembaga Penelitian Ilmu Agama dan KemasyarakatanBadan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, 1976), h.108. juga A. Malik Fadjar, op.cit., 73; dan Timur Djaelani, op. cit., h.38.
[2] Keputusan BP KNPI tanggal 27 Desember 1945 dan Peraturan Menteri Agama No.3 tanggal 19 Desember 1946. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.108, 113; juga Timur Djaelani, op. cit., h.
39. bantuankepada madrasah ini terus berlanjut sampai sesudah hadirnya UUPP No.4 Tahun 1950, yaitu lewat
[3] Peraturan Menteri Agama No.107 tahun 1964 perihal penghargaan Madrasah Ibtidaiyah Swasta(MIS) 1951-1963. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.117.
[4] Peraturan Menteri Agama No.2 tahun 1965 tentang pengukuhan persamaan MIS dengan MIN danpersamaan ijazahnya, dan Peraturan Menteri Agama No.3 tahun 1967 ihwal civil effect tamatan madrasah.Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit., h.117-118. Juga Timur Djaelani, op. cit., h.41.
[5] Timur Djaelani, op. cit., h.40; juga I. Djumhur, op. cit., h.226-230; juga A. Malik Fadjar, op. cit., 27-28. Juga Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2001), h.58. MWB inimerupakan penjabaran atas UUPP No.4 Tahun 1950 pasal 10 ayat 2 yang berbunyi: “mencar ilmu di sekolah agamayang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap sudah menyanggupi kewajiban mencar ilmu”. Lihat jugaMalik Fadjar, “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional (Jakarta: Intermasa, 1997), h.151.
[6] Malik Fadjar, “Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern”, op. cit., h.151-152.
[7] Haidar Putra Daulay, op. cit., h.341
[8] Penegerian MTs dan MA mengikuti Peraturan Menteri Agama No.29 tahun 1967 dan KeputusanMenteri Agama No.213 tahun 1970 tanggal 14 September 1970 ihwal penghentian penegerian sekolah-sekolah dan madrasah swasta. Sedang pergantian nama dan struktur madrasah mengikuti Keputusan MenteriAgama No.52 tahun 1971 perihal pergeseran nama-nama & struktur dan kurikulum Madrasah Negeri danSekolah Dinas. Lihat Mulyanto Sumardi, op. cit.,
h.118-119. Lihat juga Husni Rahim, op. cit., h.55.Azyumardi Azra menyebutkan bahwa penegrian madrasah ini telah dijalankan sejan 1950-an oleh DepartemenAgama. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta:Logos, 1999), h.103.
[9] Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri P dan K, dan Menteri Dalam Negeri (SKB 3Menteri) No. 06/1975, 037/U/1975 dan 36/1975 wacana peningkatan kualitas pendidikan pada madrasah. Perludiketahui bahwa latar belakang munculnya SKB 3 Menteri ini yaitu sebab sikap pemerintah waktu itu yangbermaksud mengintegrasikan pengelolaan madrasah dari Departemen Agama ke Departemen Pendidikan danKebudayaan, sebagaimana dapat dilihat dalam kebijakan Kepres No.34/1972 yang kemudian dipertegasdengan Inpres No.15/1974 tentang tanggungjawab fungsional dan latihan. Namun, Kepres tersebut mendapatreaksi keras dari kaum Muslimin yang menyelenggarakan pendidikan madrasah. Maka dibentuklahMusyawarah Kerja Majlis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) bersama MenteriAgama, waktu itu yakni Dr. Mukti Ali, yang berupaya mengambil jalan tengah supaya madrasah berada dibawah pengelolaan Departemen Agama. Dari situ lalu dicapai kompromi dengan hadirnya SKB 3 Menteri1975 dimaksud dengan isi perihal peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Lebih lanjut lihat FuadJabali dan Jamhari (Ed.), IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2002), h.122-123.
[10] A. Malik Fadjar, “Madrasah dan Tantangan Modernitas”, op. cit., h.5-6 dan 38. Lihat juga SKBdua Menteri No.0299/U/1984 dan No.45 Tahun 1984 wacana Pengaturan Pembakuan Kurikulum SekolahUmum dan Kurikulum Madrasah Bab V pasal 11 ayat 1-5. Disebutkan bahwa: 1) akseptor didik sekolahumum dapat pindah ke madrasah atau sebaliknya sesuai dengan tingkat dan jenjang pendidikannya denganpenyesuaian yang diharapkan. 2) Lulusan sekolah umum dapat melanjutkan pendidikannya ke madrasah,kejuruan agama atau keguruan agama sesuai dengan jenjang pendidikannya. 3) STTB/ijazah sekolah umumdan madrasah dari jenjang pendidikan yang sama memiliki kedudukan setaraf. 4) Lulusan SekolahMenengah Umum Tingkat Atas mampu melanjutkan pendidikannya ke Institut Agama Islam Negeri sesuaidengan program yang diikuti dan standar yang berlaku. Dan 5) Lulusan madrasah tingkat menengah atasdapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi umum sesuai dengan program yang disertai dan patokan yangberlaku. Lihat juga: M. Arifin, Kapita Selecta Pendidikan: Umum dan Agama (Semarang: Toha Putra,[1981]), h.97. Lihat juga Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.123.
[11] M. Irsyad Djuwaeni, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam (Jakarta: Karsa Utama Mandiri danPB Mathla’ul Anwar, 1998), h.53-54.
[12] PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (Sekolah Dasar dan SLTP) Bab III pasal 4 ayat 3,Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0478/U/1992 tentang SD (Sekolah Dasar) Bab Ipasal 1 ayat 2, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 054/U/1993 wacana SekolahMenengah Lanjutan Pertama (SLTP) Bab III pasal 1 ayat 5, dan Keputusan Menteri Pendidikan danKebudayaan R. I. No. 0489/0/1992 ihwal Pendidikan Menengah Umum (SMU) Bab I pasal 1 ayat 6.
[13] PP No.28 Tahun 1900 Bab VI pasal 10 ayat 1 dan 2; dan PP No.29 Tahun 1990 Bab VI pasal 11ayat 2 dan 3.
[14] PP No.28 Tahun 1990 Bab VIII pasal 16 ayat 2 dan PP No.29 Tahun 1990 Bab VIII pasal 17 ayat2.
[15] Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 0487/U/1992 wacana SD(SD) Bab V pasal 9 ayat 2. Bandingkan dengan kebijakan sebelumnya, Peraturan Bersama MenteriPendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No.17678/Kab tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) danNo.K/1/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) tentang Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah Negeripasal 4 yang menyebutkan bahwa: 1) Pendidikan Agama diberikan menurut agama murid masing-masing, 2)Pendidikan Agama baru diberikan terhadap suatu kelas yang memiliki murid sekurang-kurangnya sepuluhorang, yang menganut suatu macam agama. Lihat juga Abdul Rachman Shaleh, op. cit., h.11, 14.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.125.
[19] Fuad Jabali dan Jamhari (Ed.), op. cit., h.126-127. Hasil studi ADB bekerjasama dengan Comparative Education Center Universitas Hong Kong menunjukkan perbedaan alokasi dana yangmencolok. Rentang pengeluaran rata-rata murid SDN per tahun Rp. 190.000,oo-Rp. 304.000,oo; sedang MINRp. 139.000,oo-Rp.225.000,oo, dan MIS Rp. 87.000,oo-Rp.163.000,oo per murid per tahun. Untuk SLTPNper tahun adalah Rp. 418.000,oo-Rp. 572.000,oo, berlawanan jauh dengan murid MTs adalah Rp.185.000,oo-Rp.380.000,oo per murid per tahun.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon