PENGEMBANGAN MATERI AJAR PENDIDIKAN ISLAM, SUMBER KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM, MODEL KURIKULUM
PENDIDIKAN ISLAM KLASIK, MODEL KURIKULUM
PENDIDIKAN ISLAM MODERN, MODEL
KURIKULUM PENDIDIKAN
ISLAM IDEAL
I. Pendahuluan
Pendidikan Islam bekerjsama sudah berkembang dan meningkat sejalan dengan dakwahnya Islam yang sudah dilakukan Nabi Muhammad s.a.w. Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilaksanakan secara terus-menerus pascagenerasi Nabi Muhammad saw, sehingga dalam perjalanan berikutnya pendidikan Islam terus mengalami pergantian baik itu dari sisi kurikulum. Untuk menjadikan pendidikan yang memiliki arti, harus menyediakan kurikulum pendidikan yang baik pastinya terhadap penerima bimbing.
Pemikiran pendidikan klasik lebih mengutamakan terhadap guru yang menjadi subjek pendidikan, bukan kepada murid. Sebagai faktor penentu untuk menilai tingkat kesuksesan pendidikan Islam adalah berada di tangan guru. Sebagai konsekuensinya, konsep pendidikan Islam klasik lebih banyak mengamati guru.
Kurikulum selalu bersifat dinamis guna lebih menyesuaikan dengan aneka macam kemajuan yang terjadi. Setiap pendidik mesti mengetahui pertumbuhan kurikulum. Dalam kurikulum akan tergambar bagaimana usaha yang dijalankan menolong anak bimbing dalam menyebarkan potensinya, berupa fisik, intelektual, emosional, dan sosial, keagamaan, dan sebagainya.
Kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu teladan dalam proses pendidikan sehingga setiap proses pendidikan yang diselenggarakan akan lebih terarah dan sempurna target. Dengan demikian kurikulum pendidikan Islam ialah suatu alat untuk pengembangan sumber daya insan.
Jika dilihat dari aplikasinya, maka kurikulum pendidikan Islam berfungsi sebagai ajaran yang dipakai pendidik untuk membimbing akseptor didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam melalui akumulasi sejumlah wawasan, keahlian dan perilaku. Dalam hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara asal-asalan, namun hendaknya mengacu kepada konseptualisasi insan paripurna (insan kamil) yang strateginya tersusun secara sistematis dalam kurikulum pendidikan Islam.[1]
II. Pembahasan
A. Pengembangan Materi Ajar Pendidikan Islam
Materi pendidikan Islam terdiri dari Alquran, aqidah, budbahasa, fiqh dan tarikh. Materi-bahan yang diajarkan bangkit sendiri bangun sendiri dan belum tersusun dalam the body of knowledge. Komponen tersebut merupakan hasil adaptasi kurikulum pendidikan Islam di Madrasah Aliyah. Kecenderungan bahan Alquran bernuansa normatif yang sungguh kental. Materi aqidah condong normatif dan klasik. Aqidah disampaikan bernuansa teologis sentris. Materi fiqh masih bersifat formalistik ritualistik. Siswa dibawa pada contoh ibadah vertikal dan belum sampai kepada implementasi dan akal budi kesalehan sosial. Materi akhlak hanya mengetengahkan materi yang nyaris sama dengan PKn, materi adat lebih terkonsentrasi pada pengayaan wawasan kognitif dan minim dalam pembentukan sikap serta pembiasaan (psikomotorik). Materi sejarah condong menawarkan superioritas umat Islam dulu atas umat Islam lain.
Dalam penyusunan materi ajar pendidikan Islam, masalah faktual yang dihadapi siswa selaku dampak dari perkembangan tekonologi, perubahan tata nilai serta karakteristik siswa belum banyak dibahas. Sehingga diharapkan restrukturisasi bahan ajar pendidikan Islam dan pengembangan Pendidikan Islam terpadu sehingga siswa menerima pemahaman agama yang lebih utuh.
Dalam pengembangan bahan latih disediakan tiga model pembelajaran terpadu, yakni:
- Model connected (model keterhubungan) adalag model pembelajaran terpadu yang secara sengaja diusahakan untuk menghubungkan satu desain dengan konsep lain, satu topik dengan topik lain.
- Model webded (versi jaringan laba-keuntungan), versi ini ialah pembelajaran terpadu yang memakai pendekatan tematik.
- Model integrated (model keterpaduan), model ini merupakan pembelajaran terpadu yang memakai pendekatan antar bidang studi dengan menetapkan prioritas kurikuler dan mendapatkan keterampilan, konsep dan perilaku yang saling tumpang tindih dalam beberapa bidang studi. Memungkinkan siswa menjadi lebih pandai dan bijak dalam menyikapi atau menghadapi kejadian yang ada dihadapan mereka.[2]
1. Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata Curir, artinya pelari.[3] Kata Curere artinya kawasan berpacu. Curri-kulum diartikan jarak yang ditempuh oleh seorang pelari dari garis star ke garis finish. Pada dikala itu kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa untuk mendapatkan ijazah.[4] Dalam bahasa Arab kata kurikulum disamakan dengan kata manhaj yang bermakna jalan terperinci yang dilalui oleh pendidik dan anak latih untuk berbagi wawasan, keahlian dan sikap anak latih tersebut.[5]
Pada kala klasik, pakar pendidikan Islam memakai kata al-maddah untuk pengertian kurikulum.[6] Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.
Sejalan dengan perjalanan waktu, pemahaman kurikulum mulai meningkat dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi langsung siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, isi (mata pelajaran), sistem (proses belajar dan mengajar) serta evaluasi.[7]
Setiap bagian dalam kurikulum tersebut bantu-membantu saling berkaitan , ialah bahwa masing-masing merupakan bab integral dari kurikulum tersebut. Komponen tujuan mengarahkan sesuatu yang hendak dituju dalam proses berguru mengajar. Selanjutnya tujuan itu mengarahkan sikap berguru mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru. Kemudian bagian isi memberikan bahan proses belajar mengajar tersebut. Komponen proses belajar mengajar menimbang-nimbang acara guru dalam proses berguru-mengajar. Proses mencar ilmu mengajar ialah acara dalam meraih tujuan. Proses ini disebut sebagai metode mencapai tujuan. Dan bagian yang keempat, yaitu penilaian. Evaluasi merupakan evaluasi untuk mengetahui berapa persen tujuan tersebut mampu diraih. Jika dari penilaian itu tingkat pencapaiannya rendah, maka harus menyelidiki proses belajar mengajar, kemungkinan terdapat kelemahan atau menimbang-nimbang kembali isi pengajaran.
Kurikulum pendidikan Islam mengandung komponen proses pendidikan dan semua program pendidikan yang dibarengi dan diarahkan oleh guru atau pendidik dan forum pendidikan dalam aktivitas pembelajaran, khususnya untuk mengarahkan penerima bimbing mencapai tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan. Tujuan ideal hidup langsung muslim yang diinginkan adalah untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Firman Allah dalam surah al-Qashash ayat 77:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri darul baka, dan janganlah kamu melewatkan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat setuju (kepada orang lain) sebagaimana Allah sudah berbuat baik kepadamu dan janganlah kau berbuat kerusakan di (paras bumi), bahu-membahu Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
B. Sumber Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum yang bagus dan relevan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam yaitu yang bersifat integrated dan komprehensif, meliputi ilmu agama dan lazim, serta menjadikan Alquran dan Hadis selaku sumber utama pendidikan Islam.[8] Quran dan Hadis merupakan sumber utama pendidikan Islam berisi kerangka dasar yang dapat dijadikan selaku teladan operasional dan pengembangan kurikulum pendidikan Islam.
Dalam Quran dan Hadis didapatkan kerangka dasar yang dapat dijadikan sebagai aliran operasional dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
1. Tauhid
Tauhid sebagai kerangka dasar utama kurikulum harus dimantapkan semenjak masih bayi, di mulai dengan memperdengarkan kalimat-kalimat tauhid mirip azan atau iqamah terhadap anak yang baru dilahirkan. Bila dianalisis bahan azan yang dikumandangkan adalah bahan pendidikan Islam permulaan yang diberikan kepada seorang anak dalam transformasi dan internalisasi nilai dalam pendidikan Islam, semoga anak selalu terbimbing ke situasi selaras dengan hakikat penciptanya selaku pengabdi terhadap Allah. Tauhid ialah prinsip utama dalam seluruh dimensi kehidupan manusia baik kekerabatan vertikal dengan Allah maupun korelasi horizontal dengan insan dan alam. Tauhid yang seperti inilah yang dapat menyusun pergaulan insan secara harmonis dengan sesamanya, dalam rangka pencapaian kehidupan yang sejahtera dan senang dunia dan akhirat, termasuk di dalamnya pergaulan dalam proses pendidikan. Tauhid yang mirip inilah yang dijadikan kerangka dasar kurikulum pendidikan Islam.
2. Perintah membaca
Membaca ialah alat sistem perhubungan yang ialah syarat mutlak terwujudnya dan berkelanjutan dalam suatu metode sosial.
Firman Allah SWT:
Artinya: “Bacalah! Dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan insan dari segumpan darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajarkan (insan) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar terhadap manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-A’laq 96: 1-5).
Kelima ayat tersebut pada dasarnya meliputi kerangka kurikulum pendidikan Islam, yang dijabarkan selaku berikut:
- Hal yang ditekankan dari ayat yang pertama adalah kemampuan membaca yang dihubungkan dengan nama Tuhan selaku Pencipta. Hal ini bersahabat relevansinya dengan ilmu naqli.
- Ayat yang kedua, mendorong insan untuk mengintropeksi, menyelidiki perihal dirinya mulai dari proses peristiwa dirinya. Manusia ditantang untuk mengungkapkan hal itu, melalui imaginasi maupun pengalamannya.
- Motivasi yang terkandung dari ayat ketiga yakni agar insan terdorong untuk menyelenggarakan eksplorasi alam dan sekitarnya dengan kesanggupan membaca dan menulisnya.[9]
Adapun yang menjadi dasar penyusunan kurikulum pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a. Dasar agama, dalam arti segala sistem yang ada dalam penduduk termasuk pendidikan, mesti menaruh dasar falsafah, tujuan dan kurikulumnya pada dasar agama Islam dengan segala aspeknya.
b. Dasar falsafah, dasar ini menawarkan pemikiran bagi tujuan pendidikan Islam secara filosofis sehingga tujuan, isi dan organisasi kurikulum mengandung sebuah kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk nilai-nilai yang diyakini sebagai suatu kebenaran, baik ditinjau dari segi ontologi, epistimologi, maupun aksiologi.
c. Dasar psikologis, dasar ini memperlihatkan landasan dalam perumusan kurikulum yang sejalan dengan ciri-ciri pertumbuhan psikis akseptor asuh, sesuai dengan tahap kematangan dan bakatnya, mengamati kecakapan fatwa dan perbedaan karakter antara peserta asuh yang satu dengan lainnya.
d. Dasar sosial, dasar ini menunjukkan citra bagi kurikulum pendidikan Islam yang tercermin pada dasar sosial yang mengandung ciri-ciri penduduk Islam dan kebudayaannya.
e. Dasar organisatoris, dasar ini menunjukkan landasan dalam penyusunan materi pembelajaran beserta penyajiannya dalam proses pembelajaran.[10]
C. Model Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik
Kurikulum pendidikan Islam klasik berlainan dengan kurikulum pendidikan terbaru. Pada kurikulum pendidikan terbaru, misalnya kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, diputuskan oleh pemerintah dengan persyaratan tertentu yang berisikan beberapa unsur: tujuan, isi, organisasi, dan seni manajemen.[11] Pengertian dan komponen yang terdapat dalam kurikulum pendidikan modern tersebut sulit ditemukan dalam literatur-literatur kependidikan Islam klasik. Oleh alasannya itu, kurikulum pendidikan Islam klasik dimengerti dengan subjek-subjek ilmu wawasan yang diajarkan dalam proses pendidikan. Di samping itu pula, Al-Qur’an dijadikan sumber pokok ilmu-ilmu agama dan biasa .
Pada periode Nabi s.a.w. [611-632 M/12 SH-11 H] secara keseluruhan kurikulum mencakup pembinaan faktor jasmani, akal, dan rohani (hati).
- Nabi s.a.w. menetap di Mekkah selama 12 tahun 5 bulan 21 hari semenjak kenabiannya. Pengajaran yang disampaikan selama itu ialah Quran yang meliputi dogma kepada Allah, shalat, dan adab.
- Pada abad Nabi di madinah, kurikulum pendidikan berisikan: membaca Alquran, keimanan (rukun dogma), ibadah (rukun Islam), adat, dasar ekonomi, dasar politik, olah raga dan kesehatan (pendidikan jasmani), membaca serta menulis.[12]
Pada era Khulafaurrasyidin [632-661 M/12-41 H] dan masa bani Umayyah [661-750 M/41-132 H] kurikulum itu sudah bertambah. Secara ringkas, kurikulum pendidikan Islam pada kurun ini yakni selaku berikut:
- Di kuttab, diberikan pelajaran membaca Quran dan menghafalkannya, menulis, ibadah, dan budpekerti.
- Di sekolah tingkat menengah dan tinggi, pengajaran mencakup: Alquran dan tafsirnya, hadis dan pengumpulannya, fiqh.
Peradaban Islam mengalami puncak keemasan pada pemerintahan al-Ma’mun (813-833 M), yaitu saat orang-orang Islam menerjemahkan buku-buku Yunani, Persia, India ke dalam bahasa mereka. Proyek besar ini bukan merupakan barang mubazir yang cuma menghiasi rak buku khalifah, namun sejarah telah membuktikan dengan lahirnya para sarjana Muslim dari banyak sekali disiplin ilmu yang namanya masih dikenang hingga saat ini.
Sejak masa permulaan penerjemahan ini, pendidikan Islam memiliki kesempatanuntuk berbagi kurikulum yang beraneka ragam, mencakup seluruh area pengetahuan yang diketahui di dunia Helenistik, tetapi Islam tidak memberikan keluasan cakupannya ini dalam satu forum. Sebaliknya umat Islam membentuk tata cara dua jalur: formal dan non-formal.
1. Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah [750-1258 M/132-656 H]
a. Kurikulum Pendidikan Rendah
Ketika membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan ditemukan adanya kesusahan. Penyebabnya adalah: pertama, sebab tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat tinggi, kecuali Al-Qur’an yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kedua, kesusahan membedakan di antara fase-fase pendidikan dan lamanya belajar sebab tidak ada kurun tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.[13]
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, namun cuma satu tingkat yang berawal di kuttab dan selsai dengan diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang disertai oleh seluruh umat Islam. Secara biasa di forum kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis di samping Al-Qur’an, shalat dan berhitung.[14] Terkadang diajarkan juga bahasa, nahwu dan arudh. Kemungkinan besar tidak ada ujian-cobaan tamat tahun, tetapi murid-murid naik ke tingkat yang lebih tinggi atas anjuran guru-guru mereka.
Berikut acuan citra dari kurikulum tingkat ini:
Al-Mufaddal bin Yazid bercerita bahwa suatu hari dia melihat anak laki-laki dari seorang wanita Baduwi. Karena tertarik pada anak itu lalu beliau bertanya pada ibunya. Ibunya menjawab, “bila berumur lima tahun, aku akan menyerahkan pada seorang muaddib (guru) semoga dia mengajari menghafal dan membaca Al-Qur’an. Dengan demikian, dia suka akan kebangsaan bangsanya dan beliau akan mencari peninggalan nenek moyangnya; kalau akil balig cukup akal, aku akan mengajarinya cara menunggang kuda sehingga dia terlatih dengan baik, lalu beliau naik kuda sambil memanggul senjata. Kemudian beliau akan mondar-mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan bunyi orang-orang yang akan meminta tunjangan”.[15]
Kurikulum yang disediakan oleh Ibn Sina untuk tingkat ini yakni mengajari Al-Qur’an, alasannya dari segi fisik dan mental bawah umur telah siap mendapatkan pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga aksara hijaiyah dan dasar agama lalu syair. Setelah bawah umur belajar Al-Qur’an dan dasar agama, lalu diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang cocok dengan kecenderungannya.
Secara rinci kurikulum yang diajarkan pada tingkat pendidikan rendah meliputi:
a) Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya.
b) Pokok-pokok agama Islam, mirip whudu, shalat, dan puasa.
c) Menulis.
d) Kisah orang-orang yang besar.
e) Membaca dan menghafal syair-syair.
f) Berhitung.
g) Pokok-pokok nahwu dan sharaf.
Pada pendidikan tingkat rendah ini, tidak menggunakan tata cara klasikal, tanpa dingklik, meja, dan papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya secara bergantian, demikian juga tidak ada tolok ukur buku yang dipakai.
Tetapi, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukkan lazim dengan yang ada di istana. Di istana, orang renta (para pembesar istana) ialah yang menciptakan planning pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendakinya. Rencana pelajaran untuk pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan-peperangan, cara bergaul dengan penduduk . Namun tidak melupakan yang pokok, mirip Al-Qur’an, syair dan bahasa.
Kurikulum pendidikan rendah ini beragam tergantung pada tingkat keperluan masyarakat. Sebuah kurikulum dibentuk tidak terlepas dari ruang lingkup aspek sosiologis, politik, ekonomi penduduk . Di forum pendidikan penduduk umum, orang renta kurang mempunyai peran dalam penyusunan kurikulum alasannya anak mempelajari suatu mata pelajaran tergantung pada guru yang tersedia. Hal ini mengakibatkan sebuah perbedaan antara pendidikan untuk penduduk umum dan orang di istana. Jika di istana, anaknya dididik untuk menjadi seorang pemimpin yang kelak mengambil alih orang tuanya. Sedang penduduk biasa sebaliknya, dengan kata lain pendidikan di istana sungguh pribadi dengan melihat bukti sejarah.
Kurikulum pada tingkat ini juga tidak dipersiapkan untuk menuju pendidikan yang lebih tinggi. Ada jurang lebar yang memisahkan antara kedua lembaga tersebut sehingga orang yang ingin belajar sehabis tingkat dasar dalam masalah sastra, kajian keagamaan, aturan dan filsafat, mesti menempuh jalur sendiri dan meminta secara eksklusif untuk bergabung dengan halaqah milik seorang syaikh.
b. Kurikulum Pendidikan Menengah
Pada jenjang pendidikan menengah terdapat pelajaran-pelajaran sebagai berikut:
1. Al-Qur’an.
2. Bahasa Arab dan kesusasteraan.
3. Fiqh.
4. Tafsir.
5. Hadis.
6. Nahwu/sharaf/balaghah.
7. Ilmu-ilmu kealaman.
8. Kedokteran.
9. Musik.[16]
c. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Secara lazim lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas, yaitu:
1) Fakultas ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Adapun ilmu-ilmu yang dikaji fakultas ini ialah: tafsir Al-Qur’an, hadis, fiqh, ushul fiqh, nahwu/sharaf, balaghah, bahasa dan sastra Arab.
2) Fakultas ilmu-ilmu pesan yang tersirat (filsafat). Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu: mantiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu eksakta, ilmu ukur, falak, ilmu-ilmu teologi, ilmu binatang, ilmu-ilmu nabati, dan ilmu kedokteran.[17]
Semua mata pelajaran tersebut diajarkan di perguruan tinggi dan belum dibuat spesialisasi mata pelajaran tertentu. Spesialisasi itu diputuskan sesudah tamat dari perguruan tinggi, berdasar potensi dan talenta masing-masing sesudah praktik mengajar beberapa tahun. Hal ini dibuktikan oleh Ibn Sina, sebagaimana dijelaskan dalam karya Thabaqat Athibba, bahwa Ibn Sina sesudah menamatkan pendidikan tingkat menengah dalam usia 17 tahun, dia mencar ilmu lagi selama 1,5 tahun. Ibn Sina mengulang membaca mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu ketuhanan dengan membaca kitab Ma Wara al-Thabi’ah (metafisik) karya Aristoteles, juga karya-karya al-Farabi. Ibn Sina menerima kesempatan membaca literatur-literatur di perpustakaan al-Amir, mirip buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair, fiqh, dan sebagainya. Ia membaca literatur-literatur tersebut hingga beliau menerima hasil yang memuaskan. Ibn Sina menuntaskan studinya dalam usia 18 tahun.
Kurikulum pendidikan tinggi (halaqah) beraneka ragam tergantung pada syaikh yang akan mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan terhadap mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti pelajaran di sebuah halaqah, dan berpindah dari suatu halaqah ke halaqah lainnya, bahkan dari satu kota ke kota lainnya. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang sampaumur sebab diberikan terhadap orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka tentang Al-Qur’an dan agama.[18]
Kurikulum pendidikan tingkat tinggi dibagi menjadi dua bab, adalah: jurusan ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu wawasan (al-‘ulum al-aqliyah). Kurikulum pertama yaitu sejalan dengan fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami persoalan agama, memberitakan dan mempertahankannya. Namun perhatian pada agama itu tidak hanya terbatas pada ilmu agama saja, tetapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, hadis, dan tafsir.
Kurikulum yang kedua yakni kurikulum ilmu wawasan, yang ialah ciri khas fase kedua perkembangan ajaran umat Islam, yakni saat umat Islam mulai bersentuhan dengan fatwa Yunani, Persia dan India. Kurikulum untuk jenis pendidikan ini adalah mantiq, ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan, ilmu binatang, ilmu berkembang-tumbuhan dan kedokteran.
Guru-guru pada pendidikan tinggi ini umumnya menawarkan akta atau izin (ijazah) terhadap seorang mahasiswa untuk mengajarkan apa yang sudah dipelajarinya, yang pada umumnya secara eksklusif berbentukmenghafal Al-Qur’an, menyalin tradisi-tradisi Nabi dan para sahabatnya, serta menyimpulkan pokok-pokok aturan daripadanya.
Penentuan kurikulum pada tingkat ini terletak pada ulama (orang yang memiliki kesepakatan intelektual) dari pada kekuatan negara (orang yang mempunyai kekuasaan).
2. Kurikulum Pendidikan Islam Setelah Berdirinya Madrasah
Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-acara kebudayaan pendidikan Islam tidak membolehkan teologi dan iman menjadi pembatas ilmu wawasan mereka. Sejalan dengan kemajuan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah dianggap krusial. Pendirian forum pendidikan tinggi Islam ini terjadi di bawah kekuasaan wazir Nizam al-Mulk (1064 M). Biasanya suatu madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqh yang termahsyur dalam sebuah mazhab yang empat. Misalnya Nuruddin Mahmud bin Zanki telah mendirikan beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’i di Damaskus dan Halab. Sebuah madrasah untuk mazhab ini juga dibangun di kota Mesir.
Kurikulum madrasah berisikan:
a) Ilmu-ilmu agama, seperti: ilmu Al-Qur’an, hadis, tafsir, ushul fiqih, ilmu kalam, dan disiplin-disiplin lain yang tergolong dalam ilmu golongan ilmu ini. Meskipun deskripsi madrasah-madrasah menawarkan adanya variasi dalam pementingan dan porsi yang ditempati dalam kurikulum, secara lazim kelompok ilmu ini yakni bab inti dari semua kurikulum madrasah.
b) Ilmu-ilmu sastra yang diharapkan untuk mendukung kajian ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, namun bukan menjadi bagian utama dari kurikulum.
Ilmu-ilmu agama memang mendominasi kurikulum lembaga formal. Disiplin-disiplin yang perlu mengetahui dan menerangkan makna Al-Qur’an berkembang menjadi inti dari pengajaran hadis dan tafsir. Seni rethorika juga ialah bab penting dari pendidikan ilmu-ilmu agama, alasannya adalah kesanggupan untuk menyampaikan ceramah yang membangkitkan dan ceramah ilmiah ialah salah satu tugas inti seorang ulama dalam pendidikan dan kehidupan keagamaan di masyarakat. Kemahiran berbicara di tengah publik mengandung semua aspek pendidikan dan pengalaman.
Kurikulum ini dianggap selaku kurikulum madrasah tinggi, sebab sudah mengenalkan begitu banyak pelajaran umum. Tetapi studi ilmu-ilmu asing tidak semua diajarkan mendetail pada tingkat madrasah atau khusus. Ada di antara ilmu-ilmu itu yang diajarkan pada tataran dasarnya saja, dan tempatnya pun tidak harus di forum formal seperti madrasah. Di rumah, di istana wazir dan pejabat negara, pelajaran-pelajaran ini lebih kental dikenalkan dan didalami. Pada madrasah lazimnya yang mempunyai otoritas kekuasaan dalam pengelolaan pendidikan, khususnya penentuan kurikulum ialah penguasa atau orang yang memberikan harta wakafnya dalam pendirian madrasah.
Setelah penjelasan wacana versi kurikulum pendidikan Islam abad klasik yang dipaparkan sebelumnya, ada beberapa kebijakan yang diperoleh:
- Untuk kurikulum baik tingkat rendah maupun tingkat tinggi, tidak ada kurikulum yang terbatas, kecuali Alquran yang terdapat pada seluruh tingkat.
- Tidak ada jangka waktu yang diberikan dalam menempuh proses berguru.
- Diberikan kebebasan untuk menentukan guru yang disukainya.
- Pada kurun klasik, akseptor bimbing ini dapat berpindah dari satu halaqah ke halaqah lainnya.
- Kurikulum yang diberikan ialah antisipasi menuju pendidikan yang lebih tinggi.
- Tidak ada ujian-cobaan final tahun, namun murid-murid naik ke tingkat yang lebih tinggi atas nasehat guru-guru mereka.
- Pada pendidikan tingkat tinggi pada masa klasik, seorang syaikh (mudarris) menawarkan sertifikat atau izin (Ijazah) kepada mahasiswa untuk mengajarkan apa yang sudah dipelajarinya.
- Setiap syaikh (mudarris) bebas memilih bidang apa yang ingin ajarkan, tetapi terikat dengan waqfiyyah dari lembaga tempatnya mengajar.
D. Model Kurikulum Pendidikan Islam Modern
Kurikulum pendidikan Islam terbaru bukan hanya diketahui sebagai subjek-subjek ilmu wawasan dan aktivitas belajarnya, tetapi mencakup segala sesuatu yang dapat mensugesti perkembangan dan pembentukan pribadi siswa sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.
Kurikulum pendidikan Islam dikala ini tetap mengikuti prinsip-prinsip yang berlaku.[19] Prinsip tersebut antara lain: Pertama, sebuah kurikulum selain dapat menunjukkan nilai keilmuan yang murni juga semestinya dapat memberikan tuntunan kepada anak latih agar dia bisa memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sesuai dengan bakat dan keahliannya. Kedua, sebaiknya kurikulum pendidikan Islam dapat mengintegrasikan ilmu yang berkaitan dengan keduniaan dan pedoman Islam. Aplikasi kurikulum pendidikan Islam ini dapat kita lihat di madrasah dan pesantren.
Adapun ciri-ciri lazim kurikulum pendidikan Islam yakni:
- Agama dan budpekerti yakni tujuan utama.
- Mempertahankan pengembangan dan tutorial terhadap semua aspek eksklusif anak latih dari segi intelektual, psikologi, sosial, dan spritual.
- Adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan pengalaman serta kegiatan pengajaran.[20]
Madrasah lahir sebagai bentuk lain dari pendidikan lazim yang memposisikan dirinya selaku forum yang berciri khaskan agama Islam. Posisi ini diambil sebagai akhir kekecewaan masyarakat terhadap metode pendidikan pesantren yang dinilai terlalu sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu-ilmu agama.
Sebagai sekolah biasa yang berciri khas agama Islam, madrasah dituntut untuk mengembangkan mutu sumber daya insan, baik terkait dengan peningkatan iman dan taqwa maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam undang-undang No. 40 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dalam Pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa: “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengukuhan Menteri Agama dianggap sudah memenuhi kewajiban mencar ilmu”.[21]
Upaya dalam rangka tugas nasional di bidang pendidikan biar bisa membuatkan Sistem Pendidikan Nasional yang integral, Departemen Agama di bawah pimpinan Dr. Mukti Ali, M.A mengeluarkan keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1975, No. 037/U/1975 dan No. 36 Tahun 1975 tanggal 24 Maret 1975 ihwal kenaikan mutu pendidikan madrasah. Keputusan bareng tersebut merupakan pelaksaan dari Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1974, sesuai dengan isyarat presiden pada sidang kabinet terbatas tanggal 26 November.
Melalui kebijakan SKB 3 Menteri ihwal peningkatan mutu pendidikan pada madrasah, diharapkan biar:
(1) Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang serupa dengan sekolah biasa yang sederajat.
(2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
(3) Siswa setingkat madrasah dapat berpindah ke sekolah biasa yang setingkat.[22]
Pengembangan madrasah ini terus berlanjut, misalnya dalam memberikan desain Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) untuk memperlihatkan keseimbangan pada lulusan madrasah semoga mampu menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu biasa secara komprehensif dengan mengajarkan kitab-kitab berbahasa aneh (khususnya bahasa Arab) serta ilmu-ilmu keislaman yang lain. Agar tidak menimbulkan kerancuan tentang pendidikan madrasah aliyah dengan pendidikan menengah umum dalam konteks ketika ini.
Salah satu pengembangan model kurikulum di madrasah lebih berorientasi pada kurikulum integrasi, yang dirancang semoga proses pendidikan sungguh-sungguh menyanggupi maksud yang diharapkan, yang meniadakan batas-batas antar mata pelajaran dan menghidangkan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan. Dengan pelajaran yang menghidangkan fakta yang tidak terlepas satu sama lain dibutuhkan mampu membentuk kepribadian penerima didik yang integral, selaras dengan kehidupan sekitarnya. Ciri khas agama Islam meliputi derma mata pelajaran, yaitu Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Bahasa Arab, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam.
Kebijakan yang dikerjakan dalam perjuangan-perjuangan pembaharuan sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren antara lain:
- Mengubah kurikulum semoga berorientasi terhadap keperluan masyarakat.
- Peningkatan mutu guru-gurunya dan prasarana pendidikan juga diperbarui.-
- Meyakinkan kyai selaku pemilik dan sekaligus pemimpin pondok pesantren untuk berpikir positif kepada perjuangan pembaharuan dan pembangunan pondok pesantren.[23]
Untuk sekolah lazim, juga diberikan ilmu-ilmu agama, meskipun jumlahnya tidak sebanyak yang terdapat di madrasah. Dalam keputusan Menteri Agama No. 68 tanggal 1 Oktober 1974 ditetapkan kurikulum pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan SMA, yang pokok-pokok materinya berisikan: Hubungan insan dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia, kekerabatan manusia dengan alam.[24]
Kebijakan yang dapat dilihat dalam kurikulum pendidikan Islam terbaru yaitu:
- Menciptakan situasi-suasana dan acara tertentu dalam kurikulum pendidikan Islam untuk mengembangkan nilai ilahiah dan nilai insaniah, sehingga mampu membentuk norma-norma kehidupan dan melembaga pada masyarakat yang mendukungnya.
- Memberikan arah bagi peserta ajar, berkaitan dengan talenta, minat dan potensi yang dimilikinya.
- Mengantarkan peserta asuh untuk bisa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Kurikulum pendidikan Islam diarahkan untuk memenuhi keperluan kerja. Hal ini ditujukan sesudah keluar dari lembaga sekolah, akseptor didik mempunyai kesanggupan dan kemampuan yang profesional, berproduktif dan inovatif.
- Membawa kurikulum agar bisa membuat peserta didik yang cekatan, sehingga dapat membuat lapangan kerja gres yang mampu menyerap tenaga kerja terutama dirinya dan orang lain.
Jika dilihat perbedaan kurikulum dengan masa sekarang, maka kurikulum klasik lebih ke arah personal/individu, sedang kurikulum saat ini lebih ke arah insitusional/lembaga.
E. Model Kurikulum Pendidikan Islam Ideal
Untuk meraih tujuan ideal pendidikan Islam secara universal, maka diharapkan adanya perencanaan materi pelajaran dalam kurikulum yang diyakini sesuai dengan kebutuhan perorangan anak. Jika dilihat dari karakateristiknya, maka kurikulum pendidikan Islam ideal adalah:
- lebih menonjolkan mata pelajaran agama dan budbahasa, di mana budbahasa tersebut diambil dari Quran dan hadis serta keteladanan para tokoh yang shaleh terdahulu.
- Memperhatikan pengembangan seluruh faktor nalar, jasmani dan rohani.
- Memperhatikan keseimbangan antara individu dan penduduk , dunia dan darul baka.
- Memuat tata cara yang lentur, sehingga dapat diadaptasikan ke dalam berbagai keadaan dan lingkungan di mana kurikulum tersebut diterapkan.
- Memuat komponen-unsur yang tepat dengan aneka macam tingkatan usia anak serta sikap Islami.
Kecenderungan training kurikulum pendidikan Islam yang diaplikasikan pada era kini bersumber pada hasil Konferensi pendidikan Islam Internasional pertama yang diadakan pada tahun 1977 di Makkah, lalu pada hasil konferensi pada tahun 1980 di Istambul yang membicarakan ihwal kurikulum, tahun 1981 di Dakka ihwal buku teks, pada tahun 1982 di Jakarta yang membahas wacana metodologi.[25]
Secara tegas dapat dikemukakan bahwa hasil kebijakan rumusan konferensi pendidikan tersebut berorientasi terhadap perjuangan untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu wawasan umum dan agama, karena menurut hasil konferensi itu, ilmu terbagi kepada dua bab. Pertama, ilmu-ilmu baka (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu, contohnya Alquran dan al-Sunnah. Kedua ilmu-ilmu yang diperoleh dari hasil penyelidikan (acquired knowledge), termasuk di dalamnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu tentang alam sekitar dan aplikasinya.
Dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam tersebut mesti dimasukkan pada semua tingkat pendidikan. Perencanaan penyusunan materi pelajaran dalam kurikulum Islam cenderung diarahkan kepada pembagian terstruktur mengenai ilmu pengetahuan sebagaimana yang banyak diterapkan pada abad kini, ialah selaku berikut:
Ilmu yang tergolong terhadap kelompok parrenial knowledge ialah:
- Sains imaginatif (seni Islam), seni bangunan, bahasa dan sastra.
- Sains intelektual:Kajian sosial, filsafat, pendidikan ekonomi, politik, sejarah peradaban Islam (termasuk wangsit-pandangan baru Islam dalam ekonomi dan kehidupan sosial), geografi, sosiologi, linguistik, psikologi (dengan merujuk kepada Alquran dan Hadis).
- Ilmu-ilmu ihwal alam sekitar: Teori filsafat ilmu, angkasa, dan lain-lain.
- Ilmu terapan; Mekanik, kedokteran, pertanian, kehutanan, jual beli, administrasi, komunikasi dan lain-lain.[26]
Selain itu Konferensi Pendidikan Islam Internasional telah berhasil pula menyusun kurikulum berdasarkan jenjang-jenjang pendidikan selaku berikut:
(1) Tingkat rendah; pada tingkat ini materi pelajaran yang diberikan kepada siswa meliputi:
a. Kajian tentang Alquran, meliputi bacaan, qira’ah, hafalan dan pengertian arti surah-surah tertentu sesuai dengan bahasa nasional masing-masing.
b. Diniyyah (kajian tentang Tauhid dan Fiqh).
c. Cerita-cerita dan syair-syair yang dikhususkan untuk membentuk budbahasa mulia, seperti berbuat baik kepada teman, tetangga dan yang lain.
d. Geografi.
e. Matematika.
f. Bahasa Arab.
g. Ilmu tentang alam sekitar dan dasar-dasar ilmu pengetahuan.
(2) Tingkat menengah; subjek-subjek yang diberikan terhadap tingkat menengah ialah:
a. Kajian wacana Quran, meliputi: Bacaan, qira’ah, hafalan, dan penafsiran.
b. Hadis: Disiplin hadis yang tepat dengan pertumbuhan jiwa siswa.
c. Sejarah Islam.
d. Bahasa Arab.
e. Matematika.
f. Ilmu-ilmu tentang alam sekitar.
g. Geografi.
h. Sejarah dan kewarganegaraan; Sejarah Islam di negara siswa itu sendiri dengan aksentuasi terhadap pinjaman Islam kepada peradaban dan kebudayaan.
(3)Tingkat Perguruan Tinggi: Kurikulum pada jenjang ini mesti diletakkan atas dasar tingkat sebelumnya (rendah dan menengah) dengan tiga tujuan berikut:
a. Untuk menanamkan pengertian yang mendalam perihal Islam dan penduduk Islam.
b. Untuk menanamkan wawasan serta keahlian dalam suatu bidang ilmu pengetahuan keagamaan dan wawasan umum.
c. Untuk menjamin kemajuan yang sepadan dalam eksklusif mahasiswa melalui mata pelajaran yang bermacam-macam.[27]
Dari kerangka dan struktur acara yang mesti diposisikan dalam kurikulum pendidikan Islam sebagaimana di sebutkan di atas, maka perlu dikaji tentang pemikiran dan sejarah sains Islam agar dapat menyahuti tantangan keperluan material dan spritual, kebudayaan Islam dan manusia secara menyeluruh. Hal ini perlu dilakukan, alasannya dalam Islam dihentikan ada satu bagian kecilpun dari apa yang diharapkan oleh pendidikan Islam yang tertinggal, sehingga cita-cita untuk mempercepat kemajuan umat Islam dan mendesain budaya gres kala depan mampu dilaksanakan dengan menyelenggarakan pembaharuan kepada kurikulum pendidikan Islam.
Daftar Pustaka dan Footnote
- Rosnita, Kurikulum Pendidikan Islam: Gagasan Pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas (Banda Aceh: PeNA, 2011
- Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
- Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
- Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
- Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
- Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002)
___________________
[1]Rosnita, Kurikulum Pendidikan Islam: Gagasan Pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas (Banda Aceh: PeNA, 2011), h. 102.
[2]Jamiludin, “Integrasi Pendidikan Islami,” Blog Jamiludin, er.com/search?q= (10 Desember 2011).
[3]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 115.
[4]Ibid.
[5]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 64.
[6]Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 115.
[7]Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, h. 54.
[8]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 155.
[9]Ibid., h. 157-158.
[10]Ibid., h. 159-160.
[11]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 5.
[12]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 58-59.
[13]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 116.
[14]Fazlur Rahman, Islam & Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, terj. Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka, 1985), h. 40.
[15]Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 117.
[16]Ibid., h. 23.
[17]Ibid., h. 24.
[18]Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 119.
[19]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 33.
[20]Ibid.
[21]Abdul Rachman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 26.
[22]Ibid., h. 29.
[23]M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 102.
[24]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 133.
[25]Syafaruddin dkk, Ilmu Pendidikan Islam: Melejitkan Potensi Budaya Umat (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009), h. 107.
[26]Ibid., h. 108.
[27]Ibid.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon