PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dicanangnya Repelita (Rancana Penbangunan Lima Tahun) yang dimulai tahun 1974-1999 pandidikan menjadi prioritas disamping ekonomi. Target utama pembangunan pendidikan dimassa ini yaitu pendidikan dasar Sembilan tahun, dalam waktu 15 tahun terjadai perbaikan mutu, jalan masuk dan relepansi pendidikan yang mengarah penningkatan SDM Indonesia
Pada permulaan orde gres sampai permulaan pelita keVI sector pendidikan mengalami pertumbuhan yang cukup baik secara kuantitatif taktik pendidikan nasional yang dicanagkan pada simpulan pelita ke II terdiri dari 4 butir yaitu:1. Peningkatan mutu pendidikan, 2. Pemertataan Kesempatan mendapatkan Pendidiakan 3. Relevansi pendidikan dan 4. Efesiensi pendidikan (Ali. M, 2009)
Dalam pemahaman teori Human Capital yang dipelopori oleh Theodore W. Schultz (dalam Suharsaputra, 2007), insan ialah suatu bentuk kapital sebagaimana bentuk kapital-kapital lainnya yang sangat menentukan bagi perkembangan produktivitas sebuah bangsa. Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi Sumber Daya Manusia, dengan pendidikan seseorang mampu memperluas pilihan-pilihan bagi kehidupannya baik dalam profesi, pekerjaan, maupun dalam aktivitas-acara yang lain guna mengembangkan kemakmuran hidupnya.
Selain pendekatan teori human capital ada dua pendekatan lain yakni teori fungsionalisme dan teori empirisme. Teori fungsionalisme yang dipelopori oleh Burton Clark (dalam Suharsaputra, 2007), menekankan pada preservation of human resources atau pemeliharaan sumber daya manusia, dimana dalam upaya tersebut perhatian pada pergantian teknologi sungguh menonjol sehingga dibutuhkan pengembangan sistem pendidikan dan penyeleksian acara-program pendidikan disamping perlunya upaya ekspansi pendidikan yang lebih merata dalam konteks interaksi antara forum pendidikan dengan lembaga-lembaga yang lain dalam masyarakat tergolong pertumbuhan teknologi yang terjadi dengan cepat.
Sementara itu pendekatan teori empirisme (Suharsaputra, 2007) menekankan pada perlunya diagnosis kepada problem pemerataan pendidikan dengan mengkombinasikan antara metodologi dan substansi (Methodological empiricism). Menurut pengertian teori ini terjadinya ketidakmerataan potensi pendidikan ialah hasil dari pertikaian antara kelas-kelas sosial yang berlainan kepentingan, kelas-kelas sosial yang dianggap elit lebih suka menjaga status quo, sementara kelas-kelas populis terus berjuang guna menerima potensi menemukan pendidikan.
Dari ketiga pendekatan tersebut, terlihat adanya perbedaan orientasi dalam menyaksikan dilema pendidikan, tetapi satu hal yang cukup menonjol yaitu berkaitan dengan pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia yang berimplikasi pada perlunya upaya pemerataan pendidikan baik itu sebagai modal/investasi manusia, selaku pemeliharaan terhadap sumber daya insan, maupun selaku aktivitas yang dialami sehari-hari yang terus menerus beninteraksi dengan lingkungan baik sosiologis, irit, maupun lingkungan teknologis. Semua implikasi ini membutuhkan perhatian yang benar-benar dari pembuat kebijakan guna menciptakan suasana yang kondusif bagi warga penduduk ikut serta lebih aktif dan bertanggungjawab dalam dimensi pendidikan yang lebih luas.
Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk menemukan pendidikan telah usang menjadi masalah yang menerima perhatian, terutama di negara-negara sedang meningkat . Hal ini tidak terlepas dari semakin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan memiliki tugas penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.
Sejak tahun 1984, pemerintah Indonesia secara formal sudah mengupayakan pemerataan pendidikan Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan wajib berguru pendidikan sembilan tahun mulai tahun 1994. Upaya-upaya ini nampaknya lebih mengacu pada perluasan potensi untuk memperoleh pendidikan.
Pendidikakan kesetaraan juga menerima perhatian dari pemerintah yang disediakan bagi yang tidak berkesempatan mengikuti pendidikan disekolah. Tercatat 3.663.114 orang mengikuti pendidikan keaksaraan sampai tahun 2007. Sementara pendidikan anak usia dini (PAUD) juga meningkat sehingga APK pada jenjang ini mencqapai 48 persen yakni 13.736.074 orang siswa mengikuti pendidikan PAUD yang ialah 48 persen jumlah anak usia 2-6 tahun sampai tamat 2007 (Ali,2009:20)
Agaknya pelaksanaan wajib mencar ilmu negeri ini ialah slogan yang senantiasa didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib berguru dihalang-halangi, alasannya untuk masuk sekolah dasar pun kini mesti membayar mahal sehingga penduduk miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Maka terjadilah hal yang bergotong-royong tidak perlu terjadi bila semua pihak, khususnya guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan wajib belajar itu. Bagi penduduk dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin bisa membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan menemukan kesempatan mendapatkan pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang lebih 60 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta abjad alasannya dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk alasannya mutu sumber daya manusianya tidak mampu berkompetisi dengan Negara–negara lainnya. (Ali,2009)
II. PEMBAHASAN
A. Pemerataan Kesempatan Belajar
Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan ialah sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil yakni keluarga, pendidikan ialah kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi mutu perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya. Seharusnya negara juga demikian. Apabila sebuah negara ingin cepat maju dan sukses dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu yaitu pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditangguhkan dahulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
Negara kita sudah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melakukan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib mencar ilmu ialah memberikan pelayanan
terhadap anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya mampu diberikan pelayanan secara gratis alasannya adalah dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar keperluan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar, ialah baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar niscaya akan dimulai dari jenjang yang terendah, adalah sekolah dasar.
Seperti dikenali, sebagian besar kondisi sosial ekonomi penduduk kita termasuk tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin.
Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 ihwal Pembangunan SD dan inpres- inpres selanjutnya, negeri ini sudah berupaya memperlihatkan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar sudah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat semoga pemerataan potensi berguru untuk jenjang sekolah dasar mampu dikerjakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi peluang yang serupa untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang ongkosnya dapat dijangkau golongan miskin. Kejadian itu mampu dirasakan dalam rentang waktu cukup lama, yakni sejak dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984.
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini yaitu slogan yang senantiasa didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib berguru dihalang-halangi, alasannya untuk masuk sekolah dasar pun sekarang harus mengeluarkan uang mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Bagi penduduk dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin bisa membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan menemukan kesempatan mendapatkan pendidikan.
B. Pendidikan Luar Sekolah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional pasal 13, menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, informal dan nonformal. Namun demikian secara konseptual jalur informal bahwasanya bagian dari pendidikan nonformal, akan tetapi mampu saja terjadi dijalur pendidikan formal.
Di Indonesia Pendidikan Luar Sekolah (PLS) memiliki sejarah yang panjang dan sejalan dengan sejarah tersebut nama PLS berubah-ubah terus. Sejak PLS dinamai Pendidikan penduduk , kemudian menjelma PLS dan sekarang sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, pasal 13 dinamai Pendidikan Nonformal. Sesuai dengan fungsi PLS adalah sebagai substitusi, pemanis dan perhiasan pendidikan sekolah, PLS mempunyai cakupan garapan yang sangat luas. Di negara maju yang mutu jalur sekolahnya sudah baguspun peranan PLS masih tetap besar, Namun dalam kenyataannya PLS belum dimanfaatkan sesuai dengan peluangdan kemampuannya yang cukup besar sehingga kontribusinya juga belum maksimal.
Jalur PLS ialah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan mencar ilmu mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan.
PLS yang dikerjakan ialah:
1. Kursus
2. Paket A Setara SD, B Setara Sekolah Menengah Pertama, C Setara SLTA
3. Keaksaraan Fungsional (KF) Buta Huruf
4. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Satuan PLS meliputi kursus/lembaga pendidikan keahlian dan satuan pendidikan yang sejenis. Secara lazim, manfaat PLS (Prawiradilaga, 2007:225) antara lain :
1. Mempercapat acara wajib berguru pendidikan dasar
2. Memperluas dan membuat lapangan kerja
3. Terhadap jalur sekolah mampu menjadi komplemen, pemanis dan substitusi (memperlihatkan pendidikan yang tidak dapat dijalankan jalur sekolah)
4. Menyiapkan tenaga kerja yang terampil dan siap kerja
5. Membentuk manusia yang mandiri dan yakin diri
6. Mencegah urbanisasi
7. Memberantas buta huruf
Dari beberapa manfaat PLS tersebut mampu dikatakan tujuan dari PLS adalah selaku berikut :
1. Melayani warga mencar ilmu biar dapat berkembang dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna memajukan martabat dan kualitas kehidupannya.
2. Membina warga belajar biar mempunyai wawasan ketrampilan dan perilaku mental yang diperlukan untuk menyebarkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
3.Memenuhi keperluan belajar penduduk yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah.
Jenis PLS terdiri atas:
1) pendidikan lazim;
2) pendidikan keagamaan;
3) pendidikan jabatan kerja;
4) pendidikan kedinasan; dan
5) pendidikan kejuruan.
PLS dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, individual atau sekelompok Warga Negara Indonesia atau badan aturan swasta yang berkedudukan di Indonesia dan tunduk kepada hukum Indonesia. Lembaga internasional atau badan/lembaga swasta gila di wilayah Republik Indonesia dapat mengadakan PLS dengan ketentuan tidak berlawanan dengan kepentingan nasional dan wajib mematuhi peraturan perundang-permintaan yang berlaku.
Kursus PLS yang diselenggarakan penduduk (Diklusemas) didaftarkan pada Dinas Pendidikan Kecamatan dan mendapat izin penyelenggaraan dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Seluruh program kursus Diklusemas dikelompokkan ke dalam sepuluh rumpun pendidikan yaitu: kerumahtanggaan, kesehatan, keolahragaan, pertanian, kesenian, kerajinan dan industri, teknik dan perambahan, jasa, bahasa dan khusus.
Di tengah krisis ekonomi seperti sekarang, kursus/forum pendidikan kemampuan ini barangkali harus lebih dikedepankan. Kegiatan kursus bukan hanya memberi cita-cita pada anak putus sekolah yang sulit mencari kerja namun juga menunjukkan jalan bagi banyaknya jumlah lulusan SLTA yang tak melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi tinggi sehingga lembaga kursus selalu menerima kawasan. Di tangan para pengelolanya, forum pendidikan ini mampu bergerak cepat mengikuti irama kemajuan dan permintaan yang terjadi di penduduk .
Begitu cepatnya persiapan yang dilaksanakan para penyelenggara kursus atas permintaan penduduk , sangat boleh jadi, lembaga pendidikan nonformal ini tidak begitu berat terkena pukulan akhir krisis ekonomi. Menurut mereka, lulusan SMTA yang hendak memasuki perguruan tinggi tinggi perlu berpikir ulang, baik tentang ongkos maupun lama waktu mencar ilmu yang harus ditempuh. Apalagi, sesudah akhir kuliah, para lulusan perguruan tinggi tinggi pun belum tentu gampang mendapatkan pekerjaan.
Meski kursus masih dipandang sebelah mata, anak tiri dalam metode pendidikan di Indonesia itu kini telah tumbuh menjadi suatu bidang perjuangan yang nyaris tanpa batas. Tidak sedikit akademi tinggi swasta bercikal bakal dari kursus. Lembaga-lembaga kursus di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir tumbuh sungguh pesat dan bermetamorfosis industri mimpi yang menggiurkan. Banyak warga penduduk yang rela membayarkan uangnya beratus ribu atau jutaan rupiah sekadar untuk mewujudkan keinginan. Bahwa lalu mimpi indah itu tidak terwujud, adalah kenyataan lain yang tidak pernah disesali.
Berdasarkan fungsinya, jenis-jenis forum kursus itu mampu dikategorikan menjadi tiga yakni:
1. Sejenis Bimbingan Tes/Belajar yang bermaksud meningkatkan kemampuan mencar ilmu melalui pelajaran suplemen untuk bidang-bidang tertentu mirip IPA, matematika, bahasa Inggris, dan lain-lain dengan target untuk semua pelajar SD-SMTA. Tapi ada yang khusus untuk pelajar pada tingkat tertentu saja, contohnya kelas III SMTA yang mau mengikuti tes UMPTN.
2. Kursus-kursus Keterampilan yang bermaksud menawarkan atau mengembangkan keterampilan mengetik, keayuan, bahasa gila, akuntansi, montir, menjahit, sablon, babysitter, dan lain-lain. Sasaran lembaga ini dominan adalah para lulusan Sekolah Menengah Pertama dan SMTA yang memerlukan akta keterampilan untuk mencari kerja.
3. Pengembangan Profesi, seperti kursus sekretaris atau humas perusahaan, akuntan publik, kepribadian, dan lain-lainnya. Sasarannya tamatan SMTA sampai perguruan tinggi, dari yang belum melakukan pekerjaan hingga yang telah melakukan pekerjaan , tetapi ingin meningkatkan profesionalismenya. Jenis ketiga ini lebih ke arah pembentukan image dalam masyarakat, bukan cuma sekadar menawarkan kemampuan teknis saja. Karena itu dari sisi waktu pelaksanaan kursus lebih panjang (antara enam bulan sampai dua tahun).
D. Kontribusi Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan Pendidikan Nasional/SDM
Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan pastinya kita masih punya satu perilaku yaitu optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang mustahil terabaikan yaitu melalui pendidikan nonformal atau lebih diketahui dengan PLS.
Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan penduduk , utamanya pada usia sekolah. Rendahnya mutu SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, contohnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, selaku akhir dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau mampu saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang serupa disebabkan oleh factor ekonomi
Oleh alasannya itu, perlu menjadi perhatian pemerintah lewat semangat otonomi tempat ialah mengerakan program PLS tersebut, alasannya adalah UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa PLS akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka merealisasikan pendidikan berbasis penduduk , dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelancaran PLS sebagai upaya untuk menyelesaikan wajib berguru 9 tahun.
Rencana Strategis untuk mendukung penyelenggaraan PLS berdasarkan Isjoni (2004) baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota ialah :
1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara Sekolah Dasar dan B setara SLTP;
3. Penuntasan buta abjad melalui acara Keaksaraan Fungsional;
4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang renta (Parenting);
5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan berkesinambungan lewat program pembinaan kursus, golongan belajar perjuangan, magang, beasiswa/kursus; dan
6. Memperkuat dan memandirikan Pendidikan Keterampilan Berbasis Masyarakat (PKBM) yang sudah melembaga saat ini di aneka macam tempat.
Selain itu menurut Isjoni (2004), dalam kaitan dengan upaya kenaikan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada keperluan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh karena itu Program PLS mampu meningkatkan wawasan, keahlian, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut potensi pasar dan peluang perjuangan, maka yang perlu disusun Rencana strategis ialah :
1. Meningkatkan kualitas tenaga kependidikan PLS;
2. Meningkatkan kualitas fasilitas dan prasarana mampu memperluas pelayanan PLS, mampu memajukan mutu proses dan hasil;
3. Meningkatkan pelaksanaan acara kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, perkumpulan profesi, lembaga diklat; serta
5. Melaksanakan observasi kesesuain acara PLS dengan keperluan penduduk dan pasar. Demikian pula kaitan dengan kenaikan mutu administrasi pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka masa otonomi daerah, maka planning strategi yang dilakukan yaitu :
1. Meningkatkan peran serta penduduk dan pemerintah kawasan;
2. Pembinaan kelembagaan PLS;
3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi penduduk ;
4. Mengembangkan metode komunikasi dan isu di bidang PLS;
5. Meningkatkan kemudahan di bidang PLS
Sasaran PLS lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkesinambungan, dan wanita. Selanjutnya PLS mesti mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sungguh ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah PLS selaku alternative di dalam peningkatan SDM ke depan. PLS menjadi tanggung jawab penduduk dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan penduduk selaku perencana, pelaksanaan serta pengendali, Pemerintah kawasan propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian kepada PLS sebagai upaya kenaikan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan penduduk , khususnya anak usia sekolah yang tidak bisa melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah..
E. Model Pendidikan Luar Sekolah
Dalam bertahun-tahun terakhir, homeschooling (HS) merebak di beberapa kota di Indonesia. Tak hanya untuk golongan berada, sekolah rumah itu juga bakal mampu diterapkan kepada keluarga tak bisa. Belum ada data niscaya berapa jumlah anak yang mencar ilmu atau bersekolah di rumah alias ber-homeschooling di Indonesia. Namun, saat ini semakin banyak orang renta yang berminat memperlihatkan pembelajaran di rumah. Apalagi HS sebagai salah satu pendidikan alternative sudah terakomodasi dalam Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Sisdiknas pasal 27 ayat 1 Di sana disebutkan, “Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan berguru secara berdikari”. Ayat 2 menyebutkan, “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud ayat 1 diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal sesudah penerima asuh lulus ujian sesuai dengan persyaratan nasional pendidikan”. Melalui payung hukum itu, mereka yang belajar di rumah telah tak perlu was-was wacana legalitas sistem pembelajaran mereka.
Namun demikian, citra homeschooling di masyarakat masih beragam. Sebagian menganggap homeschooling mahal. Pasalnya, aneka macam macam kemudahan harus dipenuhi sendiri. Misalnya alat-alat laboratorium yang jamaknya disediakan sekolah. Menanggapi hal itu, Daniel M. Rosyid, ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur dalam postingan Pontianak Post Online (Andriayani, 2007), memastikan bahwa semua orang mampu ber-homeschooling. Menurutnya, model pendidikan rumah itu justru hadir bagi mereka yang tak mampu dalam hal finansial. Misalnya, keluarga miskin (gakin). Sebab, bawah umur miskin tidak perlu mengeluarkan biaya seragam sekolah, SPP, maupun duit gedung. Dengan demikian, jatuhnya ongkos lebih murah dibandingkan pendidikan formal.
F. Peranan Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Luar Sekolah
1. Perlunya Perubahan Paradigma Pendidikan Luar Sekolah
Bagi negara maju dan negara meningkat , pertumbuhan ilmu wawasan dan teknologi serta sistem berita yang begitu cepat mendorong aneka macam aspek, utamanya metode pendidikan untuk mengubah visi, misi dan strateginya secara revolusioner. Revolusi pendidikan memiliki arti secara totalitas menjabarkan desain Teknologi Pendidikan (TP) dalam banyak sekali bentuk dan tingkatan implementasinya, sehingga efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya yang ketersediannya sangat terbatas mampu tercapai, dan pendidikan yang sesuai dengan kebituhan masyarakat mampu disediakan.
2. Indikator yang menunjukan bahwa PLS ialah sumber ekonomi pendidikan, diantaranya :
1. Tingkat efisiensi dan efektifitas PLS sangat tinggi, sebab hampir semua PLS dirancang dan dijalankan menurut keperluan masyarakat
2. Secara fungsional, kaitan PLS dengan pendidikan jalur sekolah yaitu selaku substitusi, embel-embel dan pelengkap pendidikan sekolah.
3. Lulusan PLS baik yang berasal dari pengangguran, pegawai yang ingin mengembangkan profesi dan keterampilannya mengakibatkan mereka dapat melakukan pekerjaan di dalam negeri dan mancanegara
4. Siswa dari jalur sekolah yang kemampuan akademik dan keterampilan kejuruannya belum mencukupi, setelah mengikuti kursus teretntu menjadi siswa yang berprestasi
5. Para penyelenggara PLS dapat mendapatkan keuntungan dan mampu memperkerjakan cukup banyak pegawai untuk mengurus lembaga PLS , dan mereka ialah swadaya murni masyarakat tanpa perlindungan pemerintah.
3. Masalah Penerapan Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Luar Sekolah
Media massa utamanya TV dan media cetak mestinya lebih banyak atau dapat dimanfaatkan untuk program-program pendidikan, yang secara tidak langsung merupakan penerapan TP dalam PLS.
Selain media massa, bimbingan merupakan salah satu tata cara pembelajaran yang telah dilakukan sejak zaman dahulu masa. Belajar pada jalur PLS lebih menekankan pada tugas mencar ilmu panduan, golongan dan mandiri sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan secara konseptual sangat kasatmata. Namun alasannya tutor bukan seseorang yang secara khusus dididik sebagai tutor, tetapi guru yang merangkap tutor, sehingga meraka memiliki kekurangan dalam pengertian dirinya selaku tutor.
Program Paket A setara Sekolah Dasar dan Paket B setara SLTP dan paket A setara SLTA juga makin kehilangan pamornya, alasannya adalah kian sedikit warga masyarakat yang tidak bersekolah di Sekolah Dasar dan SLTP yang tertarik menjadi akseptor mencar ilmu di kedua acara tersebut. Satu-satunya acara PLS yang sangat dinamis dalam perkembangan keperluan penduduk , ilmu wawasan den teknologi ialah kursus-kursus yang diselenggarakan penduduk . Bahkan kini banyak lembaga kursus yang berkerjasama dengan negara lain dan telah menyusun standar kompetansi internasional, sehingga tamatannya diakui oleh negara tersebut dan mampu bekerja di negara abnormal lainya.
III. Penutup
Kesimpulan
Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah usang menjadi persoalan yang mendapat perhatian, khususnya di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai tugas penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yaitu selaku substitusi, komplemen dan tambahan pendidikan sekolah, PLS mempunyai cakupan garapan yang sungguh luas. Namun dalam kenyataannya PLS belum dimanfaatkan sesuai dengan kesempatandan kemampuannya yang cukup besar sehingga kontribusinya juga belum maksimal. Teknologi Pendidikan (TP) dalam berbagai bentuk dan tingkatan implementasinya, sehingga efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya yang ketersediannya sangat terbatas mampu tercapai, dan pendidikan yang sesuai dengan kebituhan masyarakat mampu disediakan.
DAFTAR PUSTAKA
- Ali M, 2009. Pendidikan Untuk Pembangunan Nasional. Jakarta, Grasindo
- Andriyani, Titik dan Anita Rachman. 2007. Model Pendidikan Luar Sekolah hasil Pemikiran Asah Pena. Pontianak Post Online.
- Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
- PTS Online. 2007. Kursus: Pendidikan Luar Sekolah. (http://www.pts.co.id/ kursus.asp).
- Seels, Barbara B dan Richey, Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran Definis dan Kawasannya. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.
EmoticonEmoticon