Makalah Antara Umat Islam dan Penguatan Civil Society di Indonesia
PENDAHULUAN
Di Indonesia dalam dua dasawarsa belakangan ini, diskusi perihal civil societyadalah salah satu yang timbul di samping soal reformasi, hak asasi manusia, demokrasi, dan globalisasi. Terasa tidak lengkap jika sebuah pembicaraan dalam pelatihan atau dalam makalah tanpa menambahkan kata civil society di dalamnya. Salah satu inspirasi penting yang melekat dalam desain civil society yakni cita-cita memperbaiki mutu korelasi antara penduduk dengan institusi sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (forum swadaya penduduk , organisasi keagamaan dan kelompok profesional).[1]
Berkiatan dengan upaya penguatan civil society di negeri ini, umat Islam Indonesia -sebagai dominan- menjadi sangat penting untuk diperhitungkan, dalam arti bahwa upaya penguatan civil society di Indonesia tidak mampu mengabaikan umat Islam. Bahkan, dalam beberapa hal tertentu bisa dibilang bahwa keberadaan umatIslam merupakan basis bagi perubahan sosial-politik di Indonesia. Mereka mempunyai peluangyang sangat besar dalam menentukan format dan kehidupan politik Indonesia. Dengan istilah lain, umat Islam Indonesia memiliki prasyarat -setidaknya secara kuantitatif- bagi pertumbuhan dan penguatan civil socitety.[2]
Bagaimana proses perkenalan bangsa Indonesia dengan ihwal civil society dan bagaimana tugas yang dimainkan umat Islam dalam penguatan civil society di Indonesia? Inilah pertanyaan yang akan ditemukan jawabannya dalam Makalah ini.
PEMBAHASAN
A. Akar Konsep Civil Society
Sebagai sebuah konsep, harus diakui bahwa civil society memiliki akar dalam sejarah anutan Barat.[3] Di Eropa Barat, tempat asalnya, desain ini sudah lama tidak dibicarakan, dan gres timbul kembali setelah gerakan solidaritas penduduk di Polandia pimpinan Lech Walese melancarkan perlawanan terhadap dominasi pemerintahan Jenderal Jeruzelski. Dalam perlawanan tersebut, solidaritas penduduk Polandia menimbulkan civil society selaku dasar sekaligus arah perjuangannya dengan tekanan utama pada perlawanan terhadap otoritarianisme negara. Pola yang dipakai solidaritas ini kemudian menjalar ke beberapa negara Eropa Timur lain, mirip bekas Chekoslovakia. Sejak dikala itulah perumpamaan civil societymulai ramai diperbincangan di banyak sekali potongan dunia,[4] tidak terkecuali di Indonesia.
Secara historis, akar kemajuan civil society mampu dilacak mulai dari Cicero, bahkan menurut Manfred Ridel, dia mampu dirunut lebih ke belakang lagi sampai Aristoteles. Namun yang jelas, Cicerolah yang memulai memakai istilahsocietes civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa, hingga era ke-18, pengertian civil society dianggap sama dengan negara (the state), yakni suatu golongan atau kekuatan yang mendominasi seluruh golongan penduduk lain. Terminologi ini baru bergeser maknanya pada paruh kedua abad ke-18. Pada saat itu, negara dan civil society baru dipahami sebagai dua entitas yang berlainan. Para pemikir yang mempelopori pembedaan ini yakni para filsuf pencerahan Skotlandia yang dimotori oleh Adam Ferguson dan beberapa pemikir Eropa, mirip Johann Forster, Tom Hodgkins, Emmanuel Sieyes, dan Tom Paine.[5]
Konsep civil society pernah juga diketahui secara sungguh radikal, ialah dengan menekankan pada faktor kemandirian dan perbedaan posisinya sedemikian rupa sehingga menjadi antitesis dari negara (the state). Pemahaman mirip ini mengundang reaksi yang keras dari para pemikir yang lain, mirip Hegel yang segera mengajukan tesis bahwa civil society tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol. Civil societyjustru membutuhkan banyak sekali macam aturan dan pembatasan¬-pembatasan serta penyatuan dengan negara lewat kendali aturan, administratif, dan politik. Namun, konsep Hegel perihal civil society yang memberikan posisi unggul kepada negara juga memanggil reaksi yang tidak kalah kerasnya dari para pemikir terbaru, seperti Robert Mohl, John S. Mills, Anne de Stael, dan Alexis de Tocqueville. Mereka, khususnya pemikir yang disebut terakhir, sepakat untuk mengembalikan dimensi kemandirian dan pluralitas dalam civil society. Dengan pluralitas, kemandirian, dan kapasitas politik yang mencukupi di dalam civil society, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan menertibkan kekuatan negara.[6]
Pengertian yang nyaris sama diberikan oleh John A. Holl. Hanya saja, Holl lebih menekankan pada adanya ruang publik yang bebas (the free public sphere), di mana individu dan kalangan dalam masyarakat mampu saling berinteraksi dengan semangat toleransi. Di dalam ruang tersebut, masyarakat mampu melakukan partisipasi dalam pembentukan kebijakan publik di dalam sebuah negara.[7]
Dengan demikian, civil society mampu diketahui sebagai sebuah ruang (space) yang terletak di antara negara di satu segi dan penduduk di segi yang lain, mirip yang dikemukakan oleh Michael Walker. Di dalam ruang tersebut, berdasarkan Walker, terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat suka rela dan terbangun sebuah jaringan relasi di antara berbagai perkumpulan, yang mana hubungan tersebut dikembangkan atas dasar toleransi dan saling menghargai antara asosiasi yang satu dengan yang yang lain.[8]
Dengan mengutip Eisenstadt, Afan Gaffar mengemukakan bahwa civil society adalah sebuah bentuk korelasi antara negara dengan sejumlah golongan sosial, mirip keluarga, kelompok bisnis, asosiasi penduduk , dan asosiasi atau gerakan sosial yang lain yang ada di dalam masyarakat, yang mana kelompok sosial tersebut mempunyai posisi yang independen, lepas dari efek negara. Namun demikian, penduduk yang dimaksudkan itu yakni penduduk yang memiliki komponen tertentu selaku syarat adanya civil society. Komponen yang dimaksud meliputi empat hal, yaitu (1) otonom, (2) adanya jalan masuk masyarakat kepada negara, (3) adanya arena atau ruang publik yang bersifat otonom, dan (4) arena publik tersebut terbuka bagi semua lapisan masyarakat.[9]
Sementara itu, Kwi-Hee Bae dan Joon Hyoung Lim dari University of Southern California dalam salah satu kertas kerjanya, membagi menjadi tiga tradisi pemikiran dalam kaitannya dengan rancangan civil society. Pertama yaitu tradisi (Neo)liberal dengan tokohnya yang terkenal antara lain Tocqueville dan Putnam; Kedua, tradisi Habermasian di mana Arato dan Cohen adalah salah satu pencetus terutama. Dan, ketiga adalah tradisi Hegel-Marxis di mana Gramsci yakni salah satu pengikut garis tersebut.[10]
Pembicaraan mengenai civil society di Indonesia semenjak pertengahan tahun 1980-an, kelihatannya lebih banyak yang bersandar pada tradisi liberal (tokohnya antara lain Tocqueville) dengan semangat selaku kekuatan penyeimbang kekuatan negara. Ini bisa diketahui sebab pada waktu kekuasaan Orde Baru, tugas dan posisi negara sangat berpengaruh dalam mendominasi seluruh aspek kehidupan penduduk , baik secara sosial-politik maupun budaya-ekonomi. Karena itu wajar juga kalau arti dari civil society umumnya merujuk terhadap pemberdayaan masyarakat dengan ciri utama seperti keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporting), kesukarelaan (voluntary), dan kemandirian (independent) dalam berhadapan dengan kekuasaan negara.[11]
B. Signifikansi Civil Society bagi Kehidupan Bernegara.
Dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, sepertinya civil society mempunyai arti yang cukup penting, khususnya bagi terwujudnya demokratisasi. “civil siciety ialah prasyarat terwujudnya demokrasi”, demikian Robert. W. Hefner.[12] Secara politis, memang lewat konsep civil society mampu diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih simetris, sehingga demokrasi juga dapat dilaksanakan. Dasar asumsinya yakni kalau negara terlalu kuat, negara adi kuasa, sementara masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan stagnant atau berlangsung di daerah. Secara ekonomis, melalui konsep civil society mampu dibangun kegiatan dan hubungan ekonomi yang membuat kemandirian. Pesan ideologis yang ada di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada manipulasi, juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kalangan yang kuat terhadap kalangan yang lemah. Kemudian secara sosial, lewat civil society dapat dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang sebagai individu dan selaku anggota penduduk , atau keseimbangan antara perorangan participation dan social obligations.
Dalam konteks ini, rancangan civil society kurang lebih sama dengan pengertiangemeinschaft (paguyuban) atau mezzo-structures[13] ialah bentuk pengelompokan sosial yang lebih kompleks ketimbang bentuk keluarga namun juga tidak terlampau kaku, tidak terlampau formal, seperti umum dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang terendap di dalamnya adalah memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai bentuk penjajahan terhadap kehidupan insan, sehingga mampu dibangun solidaritas sosial, atau perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan.[14]
Dengan demikian, kelahiran inspirasi civil society sebagai bagian dari sebuah kesadaran bahwa mendatangkan kemakmuran dan keadilan sosial melalui negara ternyata tidak sederhana. Maka rancangan civil society itu terkait dengan problem eksistensi hak, peluang dan kemampuan penduduk . Dalam arti, menegakkan kembali the civil rights atau menciptakan masyarakat yang di sana negara tidak lagi maha atau adi kuasa. Meskipun demikian bukan berarti bahwa civil society mengembalikan keadaan menjadi natural society, yang saat itu tidak ada negara. Civil society tetap memandang penting kedatangan negara. Hanya saja tidak seperti pada political society yang menaruh tugas negara pada posisi yang sangat lebih banyak didominasi atau adi kuasa, civil society berusaha menciptakan interaksi antara negara dan penduduk dilekati interdependensi, saling mengisi dan saling menguntungkan satu sama lain. Nilai penting yang melekat dalam civil society ialah partisipasi politik atau peran masyarakat sungguh dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan publik atau masyarakat mampu mewarnai keputusan publik.
Di samping itu juga ada akuntabilitas negara (state accountability) dalam arti negara harus bisa memperlihatkan kepada penduduk bahwa kebijakan publik yang diambil sesuai dengan ketentuan yang berlaku, efisien (mengeluarkan resources secara porposional dengan hasil maksimal) dan efektif (tidak menghancurkan atau bertentangan dengan nilai dan norma yang meningkat dalam masyarakat).
Selanjutnya, ilham civil society mengharapkan institusi-institusi yang berada pada sektor publik, sektor swasta maupun sektor sukarela mampu berupa forum-lembaga yang representatif atau berupa asosiasi-asosiasi yang terang arahnya dan dapat dikontrol. Forum atau asosiasi semacam itu bersifat terbuka, inklusif dan mesti ditempatkan sebagai mimbar penduduk mengekspresikan keinginannya. Melalui lembaga atau perkumpulan semacam itu civil society menjamin adanya keleluasaan mimbar, kebebasan melaksanakan disiminasi atau penyebarluasan opini publik. Itulah sebabnya kadang-kadang dinyatakan bahwa civil society yakni permulaan keadaan yang sangat vital bagi eksistensi demokrasi. Kendatipun karakteristik civil society bertentangan dengan karakteristik political society (yang menempatkan negara pada posisi sentral), namun tidak mempunyai arti bahwa civil society harus senantiasa melawan negara atau harus menghilangkan rambu-rambu politik yang sudah dibangun oleh negara, jadi status dan peran negara tetap diperlukan.
C. Peran Umat Islam dalam Penguatan Civil Society di Indonesia
Berdasarkan uraian di atas, keyword untuk memahami konsep civil society yaitu (a) adanya kesadaran bahwa penduduk ialah kawan pemerintah dalam proses pembangunan; (b) adanya tentang rasional yang memiliki potensi untuk mempertanyakan pertanggungjawaban negara. Di samping itu juga (c) tersedianya ruang publik sehingga masyarakat dapat secara leluasa mengekspresikan pertimbangan mereka. Perkenalan Indonesia dengan civil society yakni sebuah proses yang panjang. Pada uraian ini, kita akan melihat serba sedikit pertumbuhan civil societydi Indonesia, sekaligus menyaksikan peran umat Islam dalam prosen tersebut. Secara garis besar kemajuan civil society di Indonesia lewat tiga tahapan, yaitu:
1. Civil Society sebagai Sebuah Wacana
Sebagai suatu perihal, atau lebih tepatnya wacana kefilsafatan, Civil Society bisa disejajarkan dengan gosip gender, human right, dan demokrasi. Dalam aliran keislaman, bahkan tidak kalah serunya dengan informasi pluralisme dan berlangsung seiring dengan gosip ini. Semangat beberapa wacana ini yakni pengertian akan eksistensi hak, sebagai individu dan golongan penduduk . Juga perlakuan yang adil di tengah adanya perbedaan, peniadaan dominasi yang satu terhadap yang lain. Pemikiran demikian mampu dimaklumi, alasannya adalah ihwal ini, memang, menemukan basis filosofisnya dari anutan “kiri”, seperti Hegel, Marx, Engels; yang bisa disebut pemikir kiri kuno, juga Habermas, Gramsci, dll. yang bisa dikatakan pemikir “kiri baru”.
Perkenalan Indonesia dengan info civil society tampaknya dimulai dengan tampilnyacivil society sebagai tentang ini. Pengusung perihal ini, umumnya adalah para intelectual modernis, untuk tidak menyampaikan liberal, dan penganut sosialis atau pedoman kiri, mirip Nurcholish Madjid, Mansour Fakih, Abdurrahman Wahid, AS. Hikam, M. Dawam Raharjo, dll. Sekalipun mereka, dalam beberapa hal, berlainan dalam memaknai civil society, tetapi mereka mempunyai keprihatinan yang sama, terutama soal kekuasaan pemerintah yang terlalu besar lengan berkuasa.
Pada tahap ini, civil society merupakan perbincangan akademis, bahkan barangkali bersifat elitis. Hanya mereka yang memiliki basis keilmuan yang terpesona membicarakannya. Ada intelectual yang memaknai civil society dengan “masyarakat madani”. Konon, perumpamaan masyarakat madani pertama kali diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim (Timbalan P. M. Malaysia dikala itu), pada Festival Istiqlal di Jakarta 1995. M. Dawam Rahardjo tampaknya sepakat bahwa alih bahasa dan definisi yang sesuai dari civil society adalah “masyarakat madani”.[15] Sebaliknya, M. AS. Hikam tetap menjaga perumpamaan aslinya sebab pengertian “masyarakat madani”, menurutnya, memiliki arti dan konteks yang sungguh berbeda dengan civil society.[16]Istilah yang lebih netral, meskipun juga mengakibatkan duduk perkara yaitu “penduduk warga” yang diajukan oleh Lembaga Etika Atmajaya atau “masyarakat kewargaan” yang ditawarkan oleh AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia). Yang disebut terakhir ini misalnya M. Ryaas Rasyid dalam sebuah artikelnya menulis “Perkembangan Pemikiran tentang Masyarakat Kewargaan”.[17] Sementara itu, ungkapan “penduduk sipil” yang antara lain dipakai oleh Dr. Mansour Fakih, walaupun dalam arti terjemahan lebih sesuai tetapi nampaknya dalam arti makna tidak terlalu mengena alasannya mengimplikasikan sebagai lawan dari penduduk militer.[18]
Kehadiran perihal ini secara eksternal karena sekitar tahun 1990-an civil societytelah menjadi arus fatwa global, dan secara internal tidak mampu dipisahkan dari kondisi bangsa saat itu, khususnya tidak tersedianya ruang publik. Rejim orde baru berada pada posisi kekuatan yang tidak tertandingi. Kritis terhadap kebijakan pemerintah dianggap melawan negara. Kelompok-kalangan masyarakat senantiasa diintai dan dicurigai selaku kekuatan makar, dst. Pada saat itulah, civil society terus diwacanakan oleh para pemikir muslim.
2. Civil Society selaku Gerakan; dari Gerakan Moral ke Gerakan Politik
Sebagaimana kita ketahui, di Indonesia ada dua organisasi keagamaan besar, ialah Muhammadiyah dan NU, yang lahir semenjak periode pra-kemerdekaan. Dan, sejak Indonesia merdeka atau orde lama, dua organisasi tersebut senantiasa menjadi kekuatan sosio-kultural yang bisa dibilang menjembatani antara kepentingan rakyat dan pemerintah. Demikian juga pada kala orde gres. Pergulatan intensif antara Islam dan negara semenjak 1950-an hingga 1980-an juga melibatkan dua organisasi tersebut dan sejumlah pemikir muslim.[19] Maka, dalam pemahaman tertentu, mereka bisa dibilang selaku penyeimbang dari kekuatan negara (pemerintah). Meski demikian, tidak serta merta mampu dibilang selaku bentuk civil society, alasannya adalah memang pandangan baru dan rancangan itu gres timbul tahun 1990-an.
Namun harus diakui, semenjak kokohnya perihal civil society, golongan-golongan masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan mahasiswa (HMI, PMII, KAMMI, dll.) kian memantapkan posisinya, seiring lahirnya organisasi-organisasi dan NGOs gres, seperti Kontras oleh mendiang Munir, ICW oleh Teten Masduki, dll. Pada pertengahan sampai penghujung 1990an, banyak sekali ormas itu lebih berposisi sebagai gerakan moral, sebab posisi negara (pemerintah) yang terlalu dominan dengan BIN dan kopasusnya.
Sebagai gerakan budpekerti, ormas dan NGOs tersebut mampu dengan gampang meraih simpati dari masyarakat. Terhadap penduduk , gerakan ini menyadarkan mereka akan pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan, menawarkan terhadap masyarakat atas kesewenang-wenangan perlakuan tidak adil pemerintah dengan segala kebijakannya, dan membongkar indikasi KKN. Terhadap pemerintah, gerakan ini terus melaksanakan kritik, sekalipun beberapa aktifis diculik oleh pemerintah dan dipenjarakan. Mereka terus melaksanakan aktivitasnya dan derma penduduk semakin besar. Dengan demikian, pemerintah berhadap-hadapan dengan masyarakat.
Situasi demikian meraih puncaknya tahun 1997-1998. Pada dikala itu, sejumlah organisasi keislaman dan intelektual muslim terlibat dalam gerakan reformasi atau gerakan politik, untuk tidak menyampaikan gerakan revolusi. Kecuali sejumlah nama yang banyak disebut di atas, Amien Rais adalah nama yang cukup mewarnai perjalanan reformasi Indonesia. Pada awal 1997, Amien mengatakan perihal pertambangan tembaga Freeport di Irian Jaya. Menurutnya, 90 % keuntungan dari pertambangan ini dibawa ke mancanegara sedangkan sebagian besar dari 10 % sisanya jatuh pada satu keluarga saja.[20]
Atas pernyataan Amien ini, Soeharto marah besar. Soeharto mengundang Habibie dan memarahinya: “Amien membuat pernyataan subversif dan ia lebih berbahaya ketimbang Gus Dur.” Habibie lalu bertemu dengan Amien dan mengulangi kepadanya apa yang telah dibilang oleh Soeharto kepadanya. Amien tak takut. Ia pun keluar dari ICMI. Celakanya, bagi Soeharto, Amien rais menjadi ketua Muhammadiyah namun berada di luar ICMI dan hasilnya tidak mampu melaksanakan sensor terhadapnya. Amien terpilih selaku pimpinan Muhammadiyah pada tahun 1995. Jika sebelum ini dia enggan bicara keras, maka sekeluarnya dari ICMI ia dapat dengan bebas menyatakan pikirannya.[21]
Larut malam pada 14 Mei 1998, suatu organisasi baru yang menamakan diri “Majelis Amanat Rakyat” menyerukan supaya Soeharto lengser. Majelis ini dikepalai oleh Amien Rais dan sejumlah intelektual lain yang umumnya bicara lantang. Tidak ada yang mengagetkan kecuali adanya nama begawan ekonomi yang begitu terkenal, yaitu Sumitro Djojohadikusumo dalam daftar anggota majelis, yang juga ayah dari Prabowo.[22]
Secara nyaris berbarengan, Nurcholish Madjid memberikan sebuah makalah yang berani perihal tuntutan akan adanya reformasi politik. Makalah itu disampaikannya di markas besar serdadu di Jakarta Selatan. Nurcholish menyerukan diadakannya pemilu sebelum Januari 1999 dan tiga bulan kemudian diadakan pula sidang istimewa MPR untuk menunjuk suatu pemerintah yang gres. Ia katakan juga bahwa Soeharto harus meminta maaf atas kesalahan-kesalahannya dan terutama tentang hasil korupsinya selama ini. Disarankan juga agar Soeharto mengembalikan semua kekayaan yang diperolehnya secara tidak sah terhadap negara. Jenderal bambang Yudhoyono, seorang tokoh reformis militer, menyambut baik isi makalah Nurcholish meskipun diperingatkannya semoga dia menetralisir bagian tamat makalah itu, yang berkaitan dengan usul supaya Soeharto meminta maaf terhadap publik dan mengembalikan kekayaannya.[23]
Pada hari Senin malam, 18 Mei 1998, Soeharto meminta agar Nurcholish menemuinya di istana. Ia memenuhi usul sang presiden dan menyatakan posisinya dengan jelas: “yang diketahui oleh rakyat tentang reformasi ialah bahwa Anda turun.” Soeharto menjawab: “tidak masalah…” Kemudian, Soeharto juga berkata bahwa sebelum mengumumkan pengunduran dirinya keesokan hari, ia ingin berjumpa dengan pemimpin-pemimpin komunitas muslim. Sampil berunding dengan Nurcholish tentang sembilan orang terpilih untuk konferensi itu. Soeharto dengan empatik berminat semoga Gus Dur diikutsertakan. Nurcholish dengan cerdik juga merekomendasikan semoga Amien Rais diundang. Akan tetapi, Soeharto bersikeras menolaknya.[24]
Pada hari selasa 19 Mei 1998, sembilan pemimpin Islam –empat dari NU dan lima dari Muhammadiyah– memasuki ruang kerja Soeharto. Tampaknya perjuangan Soeharto untuk memecah belah oposisi muslim menemui kegagalan. Karena sebelumnya, Nurcholish sudah berjumpa Amien di rumah Malik Fadjar untuk membicarakan pertemuan ini. Hasil pembicaraan nitu, kesembilan orang ini membentuk suatu front bersatu. Semua menolak bergabung dengan komite reformasi bentukan Soeharto. Nurcholish sekali lagi memberi tahu Soeharto dengan terbuka dan sopan: “Anda harus mengahiri masa kepresidenan Anda dengan elok dan terhormat, bukan dengan cara Amerika Latin. Janganlah mengulang peristiwa 1965-1966”.[25]
Setelah menanti selama beberapa tahun, alhasil awal gres Indonsia pun tiba. Pada hari Jum’at, 22 Mei 1998, segenap penduduk Indonesia bangkit pagi hari pada hari pertama mereka tanpa Presiden Soeharto. Secara teoretis, orde baru selesai telah. Selanjutnya pemerintahan dipegang oleh Habibie, lalu Gus Dur, dan Megawati menyusul tumbangnya Gus Dur. Pada tiga kurun pemerintahan ini, kondisi Indonesia tidak menentu, alasannya krisis keyakinan melilit pemerintah di satu sisi, dan kuatnya posisi rakyat di sisi lainnya.
Begitulah, peran intelektual muslim dalam gerakan sopan santun dan gerakan politik. Mereka telah pasti bertindak laksana lokomotif yang membawa gerbongnya masing-masing.
3. Civil Society sebagai Patner dari Pemerintah
Sebagai bekas kawasan penjajahan yang kaya budaya, mirip budaya gotong–royong, bangsa Indonesia sudah sudah biasa hidup dengan kekuatan sendiri. Proses pembangunan sudah sudah biasa dilakukan secara bantu-membantu, mirip pembangunan jalan, pembangunan rumah ibadah, dll. pembangunan pendidikan juga banyak yang berbasis masyarakat. Artinya, pembangunan tetap dapat berlangsung, sekalipun tanpa sentuhan kebijakan pemerintah. Meski demikian, hal ini tidak mampu disebut sebagai penguatan civil society, alasannya di luar kesadaran pemerintah yang bekerjasama dengan penduduk dan di luar kesadaran masyarakat selaku kawan dari pemerintah.
Saat ini, di kurun reformasi, atau lebih tepatnya pada masa pemerintahan SBY-Kalla, paradigma pembangunan mesti menempatkan penduduk selaku mitra. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan menjadi bagian dari kebijakan pemerintah. Posisi mereka selain sebagai kawan, juga sebagai penyeimbang, selaku fasilitator, dan sebagai pengawal kebijakan setiap kebijakan.
Kelahiran banyak LSM/NGO dengan segala basis ideologi dan latarbelakangnya, lahirnya banyak orsospol (partai politik) dan kalangan-kalangan profesi yakni selaku ujud dari penguatan civil society di Indonesia.[26] Posisi NGOs ini menjadi sedemikian penting bagi jalannya pembangunan. Keberadaan mereka menjadi bagian tekterpisahkan dari eksistensi pemerintah. Sudah tentu, pemerintah tidak bisa mengabaikan tugas organisasi keagamaan Islam, termasuk pesantren, sebagai kawan dalam acara pembangunan. Misalnya pemberdayaan perempuan melibatkan organisasi-organisasi perempuan Islam (muslimat NU atau Aisiyah), dst.
Daftar Pustaka dan Footnote
- Barton, Greg, Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid), cet. ke-7 (Yogyakarta: LKiS, 2006)
- Baso, Ahmad, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi “Civil society” dalam Islam Indonesia. Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999)
- Budiman, Arief, State and Civil Society, (Clayton, Victoria: The Publications Officer, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1990)
- Fakih, Mansour, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
- Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Cet. IV,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
- Hefner, Robert W., Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, (ter. A. Baso), Jakarta: ISAI, 2001
- Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus (eds.), “Pengantar Editor” dalam Islam, Negara & Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005)
- Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil society, Cet. II, (Jakarta: LP3ES. 1999)
- Holl, John A, “In Seach of Civil society“, dalam John A Holl (ed.), Civil society Theory,History, Comparison, (Cambridge: Polity Press, 1995)
- Holl, John A, Civil Society: Theory, History, Comparison, (Cambridge, Massachussets, Polity Press, 1995)
- Prasetyo, Hendro, Ali Muhanif, dkk, Islam & Civil society: Pandangan Muslim Indonesia
- Raharjo, M. Dawam, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES dan LSAF, 1999)
- Rasyid, M. Ryaas, “Perkembangan Pemikiran perihal Masyarakat Kewargaan”, Jurnal Ilmu Politik, No. 17, 1997
- Seligman, Adam B., The Idea of Civil Society, (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1992)
- Subono, Nur Iman, “Civil Society, Patriarki, dan Hegemoni” dalam Jurnal CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003
- Suwondo, Kutut, Civil Society di Aras Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Pustaka Percik, 2005)
- Sztompka, Piotr, “Mistrusting Civility: Predicament of a Post-Communist Society”,dalam Jeffrey C. Alexander (ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization, 1998
- Walker, Michael, “Introduction”, dalam Michael Walker, “Toward a Global Civil Society,Providende, RY, Bergham Books, 1995)
________________________________________
[1]Seligman, Adam B., The Idea of Civil Society, (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1992), pp.15-58
[2]Hendro Prasetyo, Ali Muhanif, dkk, Islam & Civil society: Pandangan Muslim Indonesia, p. 11
[3]Lihat Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi “Civil society” dalam Islam Indonesia. Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), p. 85.
[4]Mengenai pembahasan wacana akar pertumbuhan civil society mampu dilihat lebih jauh dalam John A Holl, “In Seach of Civil society“, dalam John A Holl (ed.), Civil society Theory, History, Comparison, (Cambridge: Polity Press, 1995), p. 1-31
[5]Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil society, Cet. II, (Jakarta: LP3ES. 1999), p. 1-2
[6]Ibid.
[7]Lihat uraian John A Holl lebih lanjut wacana rancangan civil society dalam salah satu bukimya yang bertitel Civil society: Theory, History, Comparison, (Cambridge, Massachussets, Polity Press, 1995), khususnya pada bagian “In Search of Civil society“
[8]Michael Walker, “Introduction”, dalam Michael Walker, “Toward a Global Civil society, Providende, RY, Bergham Books, 1995), p. 16
[9]Lihat Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Cet. IV,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), p. 180
[10]Dikutip oleh Nur Iman Subono, “Civil Society, Patriarki, dan Hegemoni” dalam Jurnal CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003, p. 35
[11]Hikam, op.cit., p. 2-3.
[12]Lihat hasil riset Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, (ter. A. Baso), Jakarta: ISAI, 2001
[13]Sztompka, Piotr, ‘Mistrusting Civility: Predicament of a Post-Communist Society’,dalam Jeffrey C. Alexander (ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization, 1998, p. 191
[14]Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications Officer, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-9
[15]Lihat M. Dawam Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES dan LSAF, 1999), p. 133-173.
[16]Lihat Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil society, (Jakarta: LP3ES, 1999).
[17]M. Ryaas Rasyid, “Perkembangan Pemikiran tentang Masyarakat Kewargaan”,Jurnal Ilmu Politik, No. 17, 1997
[18]Lihat Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
[19]Komaruddin Hidayat and Ahmad Gaus (eds.), “Pengantar Editor” dalam Islam, Negara & Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), p. xviii-xix
[20]Greg Barton, Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid), cet. ke-7 (Yogyakarta: LKiS, 2006), p. 297
[21]Ibid., p. 298
[22]Ibid., p. 312-313
[23]Ibid., p. 313
[24]Ibid., p. 316
[25]Ibid., p. 317
[26]Lihat Kutut Suwondo, Civil Society di Aras Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Pustaka Percik, cet. Ke-2, 2005), p. 21
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon