Kamis, 18 Juni 2020

Masalah Pelanggaran Ham Di Papua, Hingga Perkara Agresi Demo Di Monokwari

Beberapa waktu yang kemudian, Indonesia mempunyai masalah besar yang cukup mengancam kedaulatan bangsa. Masalah tersebut datang dari dua kawasan di Indonesia adalah Jawa Timur tepatnya Malang dan Surabaya dengan Papua. Kasus tersebut memberikan banyak reaksi hingga berujung pada agresi unjuk rasa yang rampung anarkis di Gedung DPRD Monokwari oleh masyarakat Papua. Aksi demo tersebut bermula dari adanya penyerbuan di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.


Kronologi Kejadian Demo Di Monokwari


Penyerbuan yang terjadi di asrama mahasiswa Papua bukan tanpa alasan. Ada laporan yang berisi bahwa diduga sudah terjadi pengrusakan dan pembuangan bendera Merah Putih ke selokan oleh mahasiswa Papua. Berita tersebut lantas tersebar luas melalu pesan singkat kepada beberapa ormas yang ada di Surabaya. Hingga kesannya pada tanggal 16 Agustus 2019, massa yang berasal dari beberapa ormas mengunjungi kantor polisi untuk membuat laporan tentang penistaan lambang negara. Dan pada tanggal 17 Agustus 2019, pihak polisi menjajal untuk melaksanakan obrolan bareng mahasiswa Papua terkait wacana dilema pembuangan bendera Merah Putih.


Polisi berharap jikalau pihak mahasiswa mau menjawab dan menunjukkan klarifikasi tentang persoalan tersebut. Akan tetapi negosiasi tersebut gagal dilaksanakan alasannya adalah mahasiswa Papua belum memperlihatkan jawaban. Meskipun pihak kepolisian telah meminta pinjaman dari RT, RW, lurah, camat hingga dengan asosiasi warga Papua di Surabaya, pihak mahasiswa tetap tidak keluar dari asrama untuk memberikan keterangan.


Di pihak lain, laporan perihal penistaan lambang negara tersebut sudah sampai ke Polrestabes Surabaya oleh campuran ormas. Gabungan ormas menyampaikan jika tidak ada balasan dari pihak mahasiswa, massa tidak akan segan untuk datang kembali ke asrama mahasiswa Papua. Mengetahui hal tersebut pihak kepolisian berusaha mencegah untuk menyingkir dari agresi bentrok antara mahasiswa dengan ormas.


Polisi terus berupaya untuk melaksanakan obrolan dengan mahasiswa, tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Hingga alhasil polisi mengeluarkan perayaan sebanyak tiga kali sebelum melakukan langkah-langkah dengan mengeluarkan surat perintah. Surat perintah tersebut berupa surat perintah tugas dan surat penggeledahan yang sudah disiapkan sebelumnya. Pihak polisi alhasil menjinjing 43 mahasiswa Papua ke Polrestabes Surabaya untuk melaksanakan pengusutan. Setelah itu, mereka dipulangkan keesokan paginya sehabis simpulan menunjukkan keterangan.


Permasalahan yang diakibatan karena ditangkapnya mahasiswa oleh pihak kepolisian dan juga pengepungan asrama mahasiswa Papua memancing kemarahan warga di Papua. Mereka mulai melancarkan agresi unjuk rasa di sejumlah ruas jalanan di Manokwari dan memiliki dampak lumpuhnya jalanan tersebut. Pihak kepolisian yang dibantu oleh Tentara Nasional Indonesia ikut turun tangan mengatasi para penerima demo yang makin anarkis. Massa terus bergerak sampai menuju gedung DPRD Manokwari di Papua Barat dan memperabukan gedung tersebut.


Kasus Pelanggaran HAM Di Papua


Tidak sedikit pihak yang melakukan agresi solidaritas yang muncul di berbagai kawasan mirip Jakarta, Yogyakarta, Bandung dan Medan. Aksi pengepungan yang terjadi asrama mahasiswa Papua di Surabaya dinilai sudah melanggar Hak Asasi Manusia. Sehingga LBH Papua mulai mendesak Komnas HAM untuk segera menindak dan melaksanakan pengusutan terkait dengan langkah-langkah diskriminasi etnis.


Sejak tahun 2018 hingga tahun 2019, tercatat terjadi 33 masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM yang dialami oleh mahasiswa Papua di beberapa kawasan di Indonesia. Jumlah tersebut diungkapkan oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana. Beliau menjelaskan kalau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan seluruh kantor perwakilan LBH di Indonesia sudah mendampingi mahasiswa dalam menanggulangi kasus pelanggaran HAM.


Pelanggaran – pelanggaran HAM tersebut terjadi di Surabaya sebanyak 9 masalah, Bali 5 kasus, Yogyakarta 3 kasus, Semarang 4 perkara, Jakarta 4 masalah dan Papua 8 masalah. Jenis pelanggaran HAM tersebut antar lain pembubaran diskusi, penyerangan asrama, penggerebekan asrama, penangkapan sewenang – wenang, pelanggaran aturan oleh pegawapemerintah, hingga pembubaran agresi. Jika ditotal secara keseluruhan, korban yang merupakan mahasiswa Papua mampu meraih 250 orang.


Kasus di atas tadi gres sebagian kecil dari bentuk pelanggaran HAM yang dialami oleh penduduk Papua. Berdasarkan data dari Amnesty Internasional selama dua dekade semenjak reformasi 1998 di Indonesia, laporan pembunuhan di luar hukum yang dikerjakan oleh pasukan keamanan di Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua. Setidaknya terdapat 69 kasus prasangka pembunuhan di luar hukum oleh Kepolisian sebanyak 34 masalah, adonan Tentara Nasional Indonesia-Polri 11 kasus, Satpol PP 1 perkara dan 23 kasus berasal dari militer, antara era Januari 2010 sampai dengan Februari 2018 dengan korban jiwa mencapai 95 jiwa. Untuk 69 masalah tersebut sebagian besar tidak dilatarbelakangi oleh politik. Para aparat keamanan dan pemerintah terpaksa melaksanakan kekerasan mirip melakukan penembakan atau melakukan kekerasan menggunakan kekuatan untuk menjaga dan menghadapi gerakan separatis.


Ada perkara lain berbentukkekerasan di Abepura pada tanggal 7 Desember 2000. Kasus ini dimulai dari penggerebekan beberapa asrama mahasiswa di Abepura, pinggiran Kota Jayapura. Aksi ini ialah bentuk akhir dari penyerangan Polsek Abepura di malam sebelumnya sampai menewaskan 2 anggota polisi dan 1 orang penjaga keamanan. Sebanyak 1 orang mahasiswa ditembak mati, 2 orang mahasiswa tewas akibat dipukul dan sekitar 100 orang sisanya ditahan secara semena – mena. Kasus tersebut pun naik hingga dibentuklah Komisi Penyelidikan Hak Asasi Manusia bagi Papua pada Januari 2001.


Menurut seorang pelopor Hak Asasi Manusia Papua, Yan Christian Warinussy, menyampaikan jika pelanggaran HAM terbesar yang terjadi di Papua setidaknya ada 3 perkara. Ketiga dilema tersebut antara lain masalah Wasior di tahun 2001, masalah Wamena (2003) dan perkara Enarotali-Paniai tahun 2014.


Untuk perkara di Wasior diawali dengan terbunuhnya lima anggota Brimob serta 1 orang warga sipil yang terjadi di PT. Vatika Papuana Perkasa. Diduga telah terjadi langkah-langkah kekerasan, penyiksan, pembunuhan hingga penghilangan paksa.


Peristiwa di Wamena yang terjadi pada tanggal 4 April 2003 ketika sebagian besar masyarakat Wamena sedang merayakan Paskah. Petugas keamanan melaksanakan penyisiran di 25 kampung dan dimengerti jika sebelumnya sudah terjadi pembobolan gudang senjata di Markas Kodim 1720 Wamena oleh sekelompok massa, sehingga mengakibatkan 2 TNI tewas. Dampak dari penyisiran tersebut, sebanyak 9 orang tewas dan 38 orang yang lain luka berat.


Kasus pelanggaran HAM paling besar terakhir yaitu terjadi pada tanggal 8 Desember 2014. Kejadian ini bermula dari penahanan mobil anggota TNI sehingga menewaskan 4 orang tewas di kawasan insiden dan 1 orang meninggal di rumah sakit. Kasus – perkara pelanggaran HAM di atas masih sebagian kecil dari kumpulan perkara yang ada. Namun akan lebih baik jika kita secara bareng – sama hidup secara damai tanpa adanya saling tubruk hingga mempecah belah kesatuan negara Indonesia.



Sumber ty.com


EmoticonEmoticon